Minggu, 20 November 2011

.: MENAMPILKAN KEMBALI ISLAM SEBAGAI ‘IDEOLOGI" .:


Percaturan kehidupan di Indonesia saat ini dipenuhi oleh hingar-bingar pemilihan kepala negara. Ada Pemilihan Kepala daerah, Legislatif, Hingga pemilihan kepala Negara.  Munculnya tokoh organisasi Islam menambah ramai wacana. Islam pun diusung; sayangnya masih sebatas dalam tataran permukaan—seperti lagu pengiring kampanye yang dikesankan islami, janji-janji dengan membawa nama Allah SWT, atau kampanye dalam bentuk doa bersama. Perbincangan tentang figur pemimpin terjadi dimana-mana, namun perbincangan tentang sistem apa yang akan dikembangkan nyaris tidak disentuh. Padahal, baiknya suatu masyarakat bukan hanya bergantung pada orang yang memimpin, melainkan juga pada sistem aturan yang diterapkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini memberikan gambaran bahwa Islam merupakan sistem yang seharusnya diterapkan, menggantikan tatanan kapitalis yang selama ini mengatur manusia.

Islam Sebagai Mabda’ (Ideologi)
            Mabda’ merupakan istilah bahasa Arab yang dapat diterjemahkan sebagai ideologi, namun bukan ideologi dalam pengertian yang sempit, sebagaimana dalam pandangan sekularisme. Menurut Muhammad Muhammad Ismail dalam bukunya, Al-Fikr al-Islâmi (hlm. 9–11), yang disebut dengan mabda’ adalah akidah/keyakinan yang digali dari proses berpikir, yang kemudian melahirkan sistem atau aturan-aturan (‘aqîdah ‘aqliyyah yanbatsiqu ‘anhâ nizhâm). Menurut definisi ini, sebuah akidah/keyakinan disebut sebagai mabda’ (ideologi) jika memiliki dua syarat: (1) bersifat ‘aqliyyah; (2) memiliki sistem/aturan.

Akidah, dalam hal ini, bisa dimaknai sebagai pemikiran yang bersifat integral (menyeluruh) mengenai alam semesta, manusia, dan kehidupan ini; mengenai keadaan sebelum dan setelah kehidupan dunia; juga mengenai hubungan antara kehidupan dunia dengan kehidupan sebelum dan sesudah dunia.
Sedangkan sistem aturan yang dimaksud mencakup berbagai pemecahan atas berbagai problem kehidupan (baik pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara; menyangkut persoalan ibadah, akhlak, sosial, politik, ekonomi, dan budaya); juga mencakup cara untuk menerapkan berbagai pemecahan tersebut serta cara memelihara sekaligus menyebarkan akidah tersebut (An-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, hlm. 22).

‘Aqîdah ‘aqliyyah plus berbagai pemecahannya disebut dengan fikrah (ide/konsep). Sedangkan cara untuk menerapkan berbagai pemecahan tersebut serta cara untuk memelihara sekaligus menyebarkan akidah tersebut disebut dengan tharîqah (metode operasional)—untuk menerapkan fikrâh yang dimaksud. Walhasil, yang dimaksud dengan mabda’ (ideologi), dalam hal ini, bukan semata-mata berupa pemikiran teoritis, melainkan pemikiran yang dapat dijelmakan secara operasional dalam realitas kehidupan.

            Merujuk pada pengertian di atas, agama-agama selain Islam tidak dapat dikategorikan sebagai mabda’ (ideologi). Alasannya: (1) Agama-agama di luar Islam bukanlah akidah/keyakinan yang bersifat ‘aqliyyah tetapi lebih bersifat taslîmiyyah (semata-mata didasarkan pada kepasrahan/ketundukan tanpa reserve [tidak digali dari proses berpikir]); (2) Agama-agama di luar Islam tidak memiliki sistem/aturan untuk mengatur kehidupan manusia, kecuali semata-mata menyangkut masalah ritual, spiritual, dan moral belaka. Karena itu, Islam tidak layak disejajarkan—apalagi disamakan—dengan agama-agama lain yang hanya berkutat dalam masalah ritual, spiritual, dan moral belaka. Sebagai mabda’ (ideologi), Islam hanya layak disejajarkan—meskipun jelas tidak bisa disamakan—dengan dua ideologi lain yang ada di dunia, yakni: kapitalisme-sekular dan sosialisme-komunis. Bedanya, Islam satu-satunya mabda’ (ideologi) yang sahih, karena bersumber dari Allah sang Pencipta, sedangkan dua ideologi lainnya adalah sesat karena semata-mata lahir dari akal manusia yang serba lemah.

  Akidah, Islam menegaskan bahwa semua yang ada di alam ini diciptakan oleh Allah SWT (QS Thaha [20]: 14; QS al-Baqarah [2]: 22). Allah SWT tidak hanya menciptakan aturan bagi alam semesta (berupa hukum alam/sunatullah), melainkan juga menurunkan aturan (berupa hukum Islam) untuk mengatur kehidupan manusia, sebagaimana yang termaktub di dalam wahyu-Nya. Karena Allah telah menentukan hukum-Nya untuk mengatur kehidupan manusia, jelas manusia tidak boleh membuat lagi aturan lain sekehendak hawa nafsunya. Hanya Allah sajalah yang berhak menentukan hukum dan aturan bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 2; QS al-Qadr [97]: 1, QS an-Nahl [16]: 103; QS Yusuf [12]: 40), yang dibawa oleh Rasulullah (QS al-Fath [48]: 28-29; QS ash-Shaf [61]: 9). Karena itu, semua yang terdapat di dalam al-Quran harus diikuti (QS al-Hasyr [59] : 7; QS al-Baqarah [2] : 4). Apalagi, sebab utama (raison d’ etre) dari penciptaan manusia sendiri (termasuk jin) adalah untuk beribadah kepada Allah dalam arti luas (QS adz-Dzariyat [51]: 56). Muhammad Quthub dalam bukunya, Mafâhîm Yanbagi an Tushahah, memaknai ibadah dalam pengertian luas ini sebagai ketaatan, ketundukan, dan kepatuhan kepada Allah dengan mengikatkan diri dengan syariat-Nya (hukum Islam) dalam segala aspek kehidupan.

Memang, manusia bebas memilih untuk mengikuti ataupun melanggar aturan yang Allah turunkan (QS al-Balad [90]: 10). Akan tetapi, pada Hari Kiamat nanti manusia akan dibangkitkan dan dihisab atas pilihannya itu. (QS al-Mukminun [23]: 16; QS ar-Ra’du [13]: 40-41; QS al-Insyiqaq [84]: 8; QS al-Ghasiyah [88]: 26). Ujung-ujungnya, ada manusia yang dimasukkan oleh Allah SWT ke dalam surga, ada pula yang ke neraka (QS al-Baqarah [2]: 25; QS ad-Dukhan [44]: 51-55; QS al-Waqi’ah [55]: 41-43).

            Berdasarkan bahasan di atas, jelaslah, akidah Islam menetapkan bahwa sebelum ada kehidupan dunia ini ada Allah Pencipta manusia, alam semesta, dan kehidupan; bahwa Allah Pencipta manusia telah menurunkan aturan-aturan-Nya ke dunia ini untuk mengatur kehidupan manusia; dan bahwa manusia akan menuju alam akhirat dengan dimasukkan ke dalam surga atau neraka—begantung pada terikat-tidaknya dirinya dengan aturan-aturan-Nya. Itulah realitas akidah Islam yang harus diyakini oleh setiap Muslim.

Karena itu, agama Islam tidak boleh dipisahkan dari kehidupan. Seorang Muslim diperintahkan untuk menaati Allah SWT di rumah, di pasar, di mal, di kendaraan, di kantor, di masjid, di ruang pertemuan, di mess, di hotel, dan di setiap tempat. Demikian juga ketika makan, minum, berpakaian, berakhlak, beribadah, dan berbagai muamalah.

Berdasarkan hal ini, jelas sekali, seorang Muslim diperintahkan untuk selalu melakukan perbuatannya sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Semua itu tidak lain semata-mata dalam rangka mencapai kebahagiaan sejati berupa keridhaan Allah SWT yang salah satu wujudnya adalah surga yang penuh kenikmatan, yang telah dijanjikan-Nya. Seorang Muslim akan merasa tenteram dan bahagia saat berhasil melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Sebaliknya, ia akan bersedih jika melanggar hukum-hukum Allah SWT. Beginilah akidah Islam sebagai qiyâdah fikriyyah, yang memimpin penganutnya untuk senantiasa menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang selalu patuh dan taat kepada-Nya.

            Pada sisi lain, akidah Islam juga menjelaskan berbagai pemecahan masalah kehidupan yang dapat digali dari sumber-sumber hukum Islam: al-Quran, Hadis Nabi saw., Ijma Sahabat, dan Qiyas syar’iyyah. Dari sinilah lahir hukum-hukum Islam yang mengatur hubungan laki-laki dengan perempuan seperti bergaul, meminang, menikah, nafkah, mengurus anak, persoalan nasab, perwalian, dan waris—yang tercakup dalam sistem sosial (nizhâm ijtimâ‘i) Islam; yang mengatur kepemilikan berikut sebab-sebab dan jenis-jenisnya, berbagai jenis akad dalam muamalah, perseroan dan perusahaan, kebijakan-kebijakan untuk mengentaskan kemiskinan, lembaga perekonomian—yang tercakup dalam sistem ekonomi (nizhâm iqtishâdi) Islam; yang mengatur pemerintahan dan bentuknya, kepemimpinan dan syarat-syaratnya, lembaga-lembaga pemerintahan, perang dan damai, hubungan luar negeri, partai politik, dan persoalan-persoalan lain—yang tercakup dalam sistem pemerintahan (nizhâm al-hukm) Islam; juga yang mengatur masalah persanksian dan jenis-jenisnya (hudûd, jinâyat, ta‘zîr, mukhâlafât), hal-hal yang menyangkut persaksian, penyidikan dan penyelidikan, dan pembuktian—yang tercakup dalam sistem persanksian (nizhâm ‘uqûbât) Islam. Begitu pula menyangkut sistem-sistem Islam lainnya.

Sistem Islam Wajib Diterapkan
            Walhasil, jelas bahwa Islam adalah satu-satunya agama sekaligus ideologi yang sahih di sisi Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
]إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلَامُ[
Sesungguhnya dîn yang benar di sisi Allah adalah Islam. (QS. Ali Imran [3]: 19).

Lebih tegas lagi Allah SWT menyatakan:
]وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ[
Siapa saja menjadikan selain Islam sebagai dîn, maka tidak akan diterima dan di akhirat kelak dia termasuk orang yang rugi. (QS Ali Imran [3]: 85 ).

Dengan nada yang sama Allah SWT memberitahukan:

]هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللهِ شَهِيدًا[
Dia-lah Yang mengutus Rasul-Nya (Muhammad) dengan membawa petunjuk dan agama yang haq untuk dimenangkannya atas semua agama. Cukuplah Allah sebagai Saksi. (QS al-Fath [48]: 28).

Maksudnya, Islam akan senantiasa mengungguli seluruh dîn (keyakinan, agama, ideologi) para penghuni bumi, baik orang Arab maupun bukan; berbagai kelompok; dan kaum musyrik (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al ‘Azhîm, IV/246).

Kemenangan atau keunggulan Islam atas yang lain jelas hanya terjadi ketika Islam ditampilkan secara utuh sebagai sebuah mabda’ (ideologi) sebagaimana dulu pernah dibuktikan selama hampir 13 abad lamanya; bukan semata-mata sebagai agama ritual, spiritual, dan moral belaka. Islam seperti inilah yang diperintahkan Allah SWT untuk menjadi pandangan hidup dan pengatur masyarakat. Wallâhu a‘lam. [Nasya Nazira Mumtaz]


0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami


Baca Juga Situs JIhad dan informasi tambahan Republika Online.

I'dadun naas li tarhiibi qiyaamil khilafah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | free samples without surveys