Sepanjang sejarah Khilafah tidak semuanya lurus. Khalifah adalah manusia yang juga bisa menyimpang dari Islam. Namun, penyimpangan perilaku khalifah dari hukum syariah bukan karena kesalahan sistem Khilafahnya. Karena itu, kalau ada khalifah yang terbunuh, yang salah bukanlah sistem Khilafahnya, tetapi tindakan pembunuhan itulah yang menyimpang dari hukum syariah. Karena itu, menyerang sistem Khilafah berdasarkan praktiknya yang menyimpang dari syariah Islam tentu adalah kesalahan fatal.
Dalam sejarah sistem demokrasi Amerika Serikat, empat presidennya (Abraham Lincoln, James Abram Garfield, William McKinley, dan John F Kennedy) semuanya tewas terbunuh. Sejarah demokrasi AS juga mengalami perang saudara antara pihak Utara (Union) dengan Selatan (konfederasi). Lebih dari 500 ribu orang terbunuh dalam perang ini. Meskipun demikian, pengusung demokrasi tidak pernah menyalahkan sistem demokrasi karena adanya pembunuhan terhadap presidennya atau perang saudara tersebut.
Karena Khalifah bisa menyimpang, di dalam Islam mengoreksi Khalifah bukan hanya hak, tetapi juga kewajiban. Hal ini karena Khalifah bukanlah sumber kedaulatan hukum seperti dalam sistem monarki. Khalifah adalah manusia biasa yang mungkin saja keliru. Dalam hadisnya Rasulullah saw. menyebut aktivitas mengoreksi penguasa lalim sebagai afdhal al-jihad (jihad paling utama) dan siapa pun yang meninggal karena mengoreksi pemimpin zalim sebagai sayyid asy-syuhada’.
Sekali lagi, kita harus membedakan sistem Khilafah dengan pelaksanannya dalam sejarah. Adanya penyimpangan dalam pelaksanaan sistem Khilafah tidaklah menggugurkan kewajiban menegakkan Khilafah. Sama seperti adanya orang yang keliru melaksanakan shalat bukan berarti menggugurkan kewajiban shalat. Kewajiban menegakkan Khilafah dan mengangkat kholifah tetaplah wajib adalah berdasarkan al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat.
Namun, dari sejarah kita bisa mengambil pelajaran bahwa setiap pelanggaran atau penyimpangan dari hukum syariah, meskipun di era Khilafah, akan membawa masalah. Apalagi kalau kita tidak melaksanakannya sama sekali seperti sekarang ini. Kita menegaskan pula, Khilafah yang akan kita tegakkan adalah Khilafah yang berdasarkan manhaj Kenabian (‘ala minhaj an-Nubuwwah), bukan yang menyimpang. Kita tentu saja bertekad, tidak mengulangi penyimpangan-penyimpangan yang pernah dilakukan oleh Khalifah dalam sejarah Kekhilafahan masa lalu.
Mengangkat sebagian sejarah Khilafah yang gelap, tetapi menutup-nutupi sejarah panjang kejayaan Khilafah adalah cara pandang yang tidak obyektif dan juga ahistoris. Apalagi menyatakan sistem Khilafah membelenggu pemikiran umat tanpa disertai bukti-bukti. Bukankah justru dalam sistem Khilafah banyak bermunculan para ulama dan cendekiawan Muslim terkemuka dengan karyanya yang gemilang—seperti para Imam Madzhab terkemuka, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan banyak lagi lainnya?
Imam Syafii, misalnya, menurut al-Marwazi, karyanya mencapai 113 kitab tentang tafsir, fikih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam Al-Fahrasat. Yang paling terkenal di antara kitab-kitabnya adalah Al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128 masalah dan Ar-Risalah al-Jadidah.
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal menyusun kitabnya yang terkenal, Al-Musnad. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, an-nasikh wa al-mansukh, tarikh, dll. Imam Ahmad juga menyusun kitab Al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab Ash-Shalah, kitab As-Sunnah, kitab Al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab Al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah, dll.
Cendekiawan Muslim lainnya di era Khilafah bukan hanya fakih di bidang agama, tetapi juga menghasilkan kaya ilmu sains yang diakui dunia. Karya mereka diakui memberikan sumbangan pada era renaisaince Eropa. Menurut Sir Thomas Arnold, tanpa peran Arab (Muslim)—tentu di era Kekhilafahan Islam, ed.—peradaban modern Eropa bisa jadi tidak bangkit sama sekali. “It is highly probable that, but for the Arabs (Muslims), modern European civilization would never have arisen at all.” (Sir Thomas Arnold and Alfred Guillaume, The Legacy of Islam, 1997).
Di bidang kedokteran terdapat Ibnu Sina. Dalam Encylopedia Britannica ditulis tentang karya Ibnu Sina ini: The Canon of Medicine (Al-Qanun fi ath-Thibb) adalah buku yang paling terkenal dalam sejarah kedokteran baik di Timur dan Barat. Buku ini digunakan Sekolah Medis di Timur dan Barat selama 500 tahun. Menurut Toby E Huff, The Canon of Medicine adalah buku pertama yang mengurai obat-obatan berdasarkan pengujian, uji coba obat eksperimental klinis, uji coba terkontrol secara acak, tes efikasi, analisis faktor risiko, dan gagasan tentang sindrom dalam diagnosis penyakit tertentu (Huff, Toby, The Rise of Early Modern Science: Islam, China, and the West, Cambridge University Press, 2003).
Di bidang fisika terdapat Al-Kindi (abad IX M). Karya pakar fisika ini tentang fenomena optik diterjemahkan ke Bahasa Latin yang memberikan pengaruh besar Roger Bacon. Pakar fisika yang lain adalah Ibnu Haytam (965-1039 M). Di Barat dikenal dengan Alhazen. Ia adalah pakar di bidang optik dan pencahayaan. Sebanyak 200 judul buku tentang optic dan pencahayaan dinisbatkan kepada beliau. Teorinya lebih dulu 5 abad sebelum teori yang sama dikeluarkan Torricelli. George Sarton (1927) dalam bukunya, Introduction To The History of Science, Volume I: From Homer To Omar Khayyam, memberi gelar Ibnu Haytam dengan Fisikawan Terbesar Abad Pertengahan.
Selain itu, perpustakaan zaman Kehilafah amatlah mengagumkan. Perpustakaan Khalifah al-Hakim di Kairo, misalnya, menyediakan 1,6 juta volume buku. Mengenai hal ini, Bloom and Blair menyatakan, “Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek huruf, membaca, dan menulis) Dunia Islam di abad pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Islam: A Thousand Years of Faith and Power).
Keemasan Khilafah ditulis secara jujur oleh sejarahwan dunia seperti Will Durant dalam Story of Civilization. “Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka.”
Pertanyaannya, bagaimana mungkin karya-karya cemerlang ini lahir dari sistem Khilafah yang dituduhkan jumud atau terbelakang? Namun yang paling penting, kewajiban menegakkan Khilafah bukan didasarkan pada kemaslahatan yang bisa kita raih itu. Kewajiban menegakkan Khilafah adalah kewajiban syariah yang berdasarkan akidah Islam. Kewajiban Khilafah merupakan perkara ma’lum[un] min ad-din bi asdh-dharurah. Demikianlah sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, “Mereka (para imam mazhab) telah bersepakat mengenai kewajiban mengangkat khalifah (menegakkan Khilafah).” [Farid Wadjdi]
Posted in: Ghozul Fikr
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami