Tidak berhenti di sana, jihad pun diputarbalikkan dengan makna-makna yang jelek. Jihad kemudian diidentikkan dengan terorisme, fundamentalisme, barbarisme, dan tuduhan-tuduhan keji lainnya. Tindakan pejuang Palestina, Irak, Chechnya, Moro, Pattani, yang dijajah terutama oleh negara-negara imperilias disebut dengan tindakan teroris dan militan barbar. Sebaliknya, apa yang dilakukan AS dan negara-negara imperialis lainnya dicitrakan sebagai tindakan yang baik. AS dan Inggris menyerang Irak, Afganistan disebut sebagai tindakan pembebasan, penegakan demokrasi, dan HAM.
Adapula yang mengatakan, sebenarnya tidak ada bedanya antara imperilisme Barat dan jihad (futûhât) dalam Islam. Kedua-duanya menggunakan kekerasaan, menumpahkan darah, merampok, serta merampas dan mengeksploitasi negara yang dijajahnya. Dalam persfektif ini, kemudian mereka menuduh agama sebagai sumber konflik dan kekacaauan di dunia. Mereka kemudian menyerukan ide-ide humanis, seperti perdamaian.
Penggunaan Kekerasaan oleh Negara
Bisa dipastikan, tidak ada satu negara besar yang berbasis ideologi pun di dunia ini yang tidak menggunakan kekerasaan dalam meraih tujuan-tujuannya. Sebut saja, misalnya, AS sebagai negara kapitalis terkemuka di dunia. Dalam praktiknya, AS banyak menggunakan kekerasaan untuk menyebarluaskan ide-ide Kapitalismenya dan mencapai kepentingan nasionalnya.
Negara-negara yang berbasis ideologi Sosialisme-Komunisme juga melakukan hal yang sama. Sejarah telah mencatat bagaimana Rusia saat Perang Dingin melakukan pembantaian bukan hanya di negaranya, tetapi hampir di seluruh dunia.
Memang, penggunaan kekerasaan tidak bisa dihilangkan mengingat dunia pastilah terdiri dari berbagai macam pemikiran, ideologi, atau kepentingan. Saat satu negara ingin menyampaikan ideologinya atau kepentingannya, pastilah terjadi perlawanan dari pihak lain yang juga memiliki kepentingan. Manusia juga tidak semuanya baik dan tidak semuanya bisa disadarkan dengan kata-kata. Sebuah negara kadang-kadang juga harus menggunakan kekerasaan untuk menghentikan atau mencegah tindakan kejahatan negara lain.
Tinggal persoalannya, atas dasar apa kekerasaan itu digunakan, tujuannya apa, dan bagaimana caranya. Inilah yang membedakan penggunaan kekerasaan oleh negara-negera ideologis tersebut. Dalam hal ini, sebuah ideologi akan sangat mempengaruhi bagaimana penggunaan kekerasan tersebut dilakukan. Jadi, meskipun Negara Islam dan Negara Kapitalis sama-sama menggunakan kekerasan, ada perbedaan mendasar di antara keduanya.
Motif dan Tujuan
Jihad bermotifkan keinginan untuk melaksanakan perintah Allah Swt. Kemurnian motif ini menjadi penentu apakah seseorang diterima amal jihadnya atau tidak. Karena itu, jihad yang benar dan yang ikhlas karena semata-mata menjalankan perintah Allah akan menyampingkan dominasi hawa nafsu manusia yang cenderung pada kerusakan.
Islam bersumber dari Allah Swt. Yang menciptakan alam semesta, Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Karena itu, penerapan ideologi Islam pasti akan memberikan rahmat/kebaikan pada setiap manusia (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Rahmat tersebut sesungguhnya akan terwujud dengan penerapan hukum-hukum Islam. Karena itu, ideologi Islam yang sesuai dengan fitrah dan memuaskan akal manusia akan memberikan kebaikan kepada seluruh umat manusia. Sebaliknya, ideologi Kapitalisme bermotifkan keserakahan manusia untuk memuaskan hawa nafsunya. Tidak mengherankan kalau imperialisme membawa bencana bagi manusia.
Karena itu, tujuan jihad tidak ada hubungan dengan keinginan untuk merampas dan mengekploitasai bangsa lain serta mendapatkan kedudukan untuk mendominasi manusia lain atau menindas bangsa lain. Tidak ada sama sekali. Tujuan jihad adalah semata-mata untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia sehingga Islam sebagai agama yang membawa kebaikan pada setiap manusia bisa dirasakan oleh siapapun tanpa ada yang menghalanginya.
Allah Swt. telah menjelaskan beberapa tujuan dari jihad di dalam al-Quran: Pertama, meninggikan kalimat Allah dan melenyapkan segala macam fitnah (kekufuran). Allah Swt. berfirman:
Perangilah mereka sehingga tidak ada lagi fitnah (kekufuran) dan adalah agama bagi Allah semata-mata. (QS al-Baqarah [2]: 193).
Kedua, menghilangkan kezaliman yang menimpa umat Islam. Allah Swt. Berfirman:
Diizinkan bagi orang-orang yang diperangi (untuk berperang) karena mereka dizalimi. Sesungguhnya Allah Mahakuasa untuk menolong mereka. (QS al Hajj [22]: 39).
Ketiga, menggentarkan musuh Allah dan siap saja yang berada di belakang musuh hingga mereka tunduk kepada Islam. Allah Swt. berfirman:
Siapkanlah untuk menghadapi mereka, kekuatan apa saja yang kalian sanggupi, dan dari kuda-kuda yang ditambatkan (untuk persiapan perang), yang dengan itu kalian menggentarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh kalian. (QS al-Anfal [8]: 60).
Walhasil, jihad jelas berbeda dengan imperialisme yang berpijak pada ideologi Kapitalisme. Imperialisme didorong oleh keserakan manusia, yaitu untuk merampas kekayaan alam negeri yang dijajah, mendominasi, dan menindas manusia-manusia yang ada di dalamnya. Motif imperialisme/kolonialisme Barat tidak bisa dipisahkan dari ideologi Kapitalisme yang diusung oleh mereka.
Imperialisme (penjajahan) sendiri merupakan strategi kebijakan luar negeri yang sering ditempuh oleh negara-negara kapitalis. Imperialisme, kolonialisme, atau penjajahan telah dijadikan oleh negara-negara kapitalis seperti AS untuk membuka peluang baru bagi penanaman modal, menemukan pasar baru bagi kelebihan produksi yang tidak dapat dijual di dalam negeri, serta mengamankan pemasukan bahan baku murah untuk kelanjutan proses produksi dalam negeri. Imperialisme ini kemudian menimbulkan hubungan superior dan inferior—negara-negara kapitalis menganggap mereka merupakan tuan, sementara negara lain adalah budak yang harus tunduk apapun perintah tuannya.
Perbedaan Cara
Motif dan tujuan yang berbeda tentu saja melahirkan cara yang berbeda pula. Motif dan tujuan yang didasarkan pada keserakahan hawa nafsu manusia seperti dalam ideologi Kapitalisme telah membuat ideologi ini menganut prinsip menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Bagi negara penganut ideologi Kapitalisme, penipuan, kebohongan, sampai pembantaian umat manusia adalah sah-sah saja dalam rangka mencapai tujuannya. Tidaklah mengherankan kalau sejarah Kapitalisme dunia diisi dengan dengan darah dan air mata dari negara yang dijajah.
Dalam sejarah kolonialisme tidak terhitung berapa korban dari wilayah yang dijajah. Perang Dunia I dan II saja memakan jutaan jiwa dan penderitaan bagi mereka yang masih hidup. Dua bom atom yang dijatuhkan di Jepang membunuh lebih dari tiga juta jiwa rakyat sipil. Perang Dingin dan Perang Melawan Terorisme yang dipimpin oleh AS juga telah menimbulkan banyak korban rakyat sipil. Dalam Perang Vietnam AS menumpahkan 12 juta galon Agen Orange, menghancurkan 4,5 juta hektar tumbuhan, dan menewaskan banyak rakyat sipil. Ribuan kaum Muslim di Irak dan Afganistan dibunuh atas dasar perang melawan terorisme yang penuh kebohongan. Embargo yang disponsori oleh AS telah membunuh lebih dari 1,5 juta rakyat Irak.
Akan tetapi, semua itu dipandang enteng oleh negara-negara imperilias tersebut. Lihat saja saat Collin Powel ditanya tentang terbunuhnya lebih kurang 200.000 rakyat Irak dalam Perang Teluk di era Bush Senior dulu. Dengan enteng, dia menjawab, “Tidak begitu peduli dengan angka-angka itu.”
Madeleine Albright (Menlu AS era Clinton) oleh koresponde CBS tentang jumlah korban rakyat Irak yang mencapai 800.000 orang akibat embargo PBB. Jawaban Albrigt sama kejamnya, “We think the price worth itu, (Kami kira itulah harga yang pantas untuk itu).”
Jadi, membunuh ratusan ribu nyawa kaum Muslim dianggap sebagai harga yang pantas demi kejayaan Kapitalisme yang rakus. Hal yang sama diungkap oleh Rumsfeld melalui kata-katanya, “Free people have the right to do bad things and commit crimes.”
Artinya, bagi negara-negara yang menganut kebebesan tersebut, apapun menjadi sah untuk dilakukan bahkan untuk melakukan tindakan kriminalitas.
Hal ini sangat berbeda dengan Islam yang menjalankan perangnya atas dasar petunjuk Allah Swt. Ada aktivitas yang harus dilakukan sebelum perang, yakni mengajak mereka terlebih dulu memeluk Islam. Kalau tidak mau, mereka ditawari masuk dalam kekuasaan Khilafah seraya membayar jizyah, meskipun mereka tetap pada agama mereka. Walhasil, dalam Islam, perang merupakan pilihan terakhir.
Perang Islam juga bukanlah perang yang barbar. Perang dalam rangka futûhât bukanlah untuk memerangi rakyat setempat, tetapi untuk menghilangkan penghalang-penghalang fisik, termasuk penguasa zalim mereka yang menghalangi diterima Islam secara lapang dan jujur. Dalam perang itu, Islam melarang membunuh orang-orang yang bukan termasuk tentara perang seperti anak-anak kecil, wanita, orang tua, dan para rahib di gereja-gereja. Tawanan perang juga diperlakukan dengan baik. Penggunaan senjata pemusnah massal seperti senjata nuklir dan senjata kimia hanya digunakan kalau musuh menggunakan senjata yang serupa. Sebab, dalam Islam musuh harus diperlakukan setimpal. (Lihat: QS an-Nahl [16]: 126).
Fakta Yang Terbantahkan
Perbedaan motif, tujuan, dan caranya juga tentu saja memberikan hasil yang berbeda. Jihad yang dilakukan Islam telah memberikan kebaikan kepada setiap manusia. Penerapan aturan Islam yang adil kepada masyarakat yang ditaklukkan membuat mereka (yang ditaklukkan) tidak pernah merasa berbeda dengan yang menaklukkan mereka. Sebab, Daulah Khilafah Islam memberikan jaminan kebutuhan pokok, kesejahteraan, dan keamanan yang sama bagi seluruh warganya; tanpa melihat apakah dia merupakan rakyat yang ditallukkan atau tidak. Mereka sama-sama hidup sejahtera di bawah naungan Islam.
Penerapan hukum Islam akan menjamin kebutuhan pokok dan keamanan warganya. Islam juga menjamin pendidikan yang gratis bagi seluruh warga negara, kesehatan yang gratis, dan perlakuan penerapan hukum yang sama; tanpa memandang dari suku, kelompok, bangsa, atau agamanya apa dia berasal.
Rasulullah sendiri sangat memperhatikan perlakuan terhadap ahlu dzimmah ini agar mereka tidak disakiti dan dizalimi. Rasulullah juga melarang merusak tempat-tempat ibadah non-Muslim. Persamaan di depan hukum sangat tampak jelas dari pernyataan Rasulullah yang menyatakan akan memotong tangan pencuri meskipun itu adalah anaknya sendiri. Hal ini dipraktikkan oleh kepala negara (Khalifah) setelahnya. Sangat populer praktik keadilan Islam seperti diriwayatkan bagaimana seorang Yahudi dibebaskan dari tuduhan mencuri di pengadilan Islam karena tidak cukup bukti. Padahal yang memperkarakannya adalah pemimpin negara Islam sekaligus sahabat Rasulullah yang agung, Khalifah Ali bin Abi Thalib.
‘Umar bin al-Khaththab, saat menjadi khalifah, pernah membebaskan tanah milik orang Yahudi yang dirampas untuk dibangun masjid. Khalifah menyuruh agar masjid itu dirubuhkan dan tanahnya dikembalikan kepada Yahudi. Dia juga pernah membebaskan seorang Yahudi tua yang tidak sanggup lagi membayar jizyah (bayaran yang diberikan warga non-Muslim kepada negara) karena memang tidak mampu. Bahkan Khalifah menyuruh bendahara Baitul Mal (lembaga keuangan negara) untuk menyantuni Yahudi tersebut.
Perlu dicatat, bahwa fakta kebaikan ini bukankah semata-mata karena keluhuran pemimpin secara individu, tetapi memang mereka menerapkan aturan Islam tentang hukum-hukum kepada ahlu dzimmah (warga non-Muslim).
Rakyat yang negerinya ditaklukkan oleh Islam pun tidak pernah menganggap Islam sebagai penjajah. Sebaliknya, yang terjadi, mereka menyatu dengan pemeluk Islam lainnya dan bahkan menjadi pembela Islam. Tidak pernah didengar rakyat Mesir, Suriah, Libya, atau Bosnia menganggap Islam sebagai penjajah. Bahkan negeri-negeri itu dipenuhi dengan pejuang-pejuang Islam yang membela agamanya. Kalau Islam dianggap penjajah, bagaimana mungkin mereka membela dan memperjuangkannnya?
Berbeda halnya dengan penjajahan negara-negara imperialis. Hampir sebagian besar rakyatnya menganggap mereka adalah penjajah. Indonesia, sampai kapanpun, akan menganggap Belanda dan Jepang sebagai penjajah. Rakyat Mesir akan abadi menganggap Inggris sebagai penjajah. Itali pun sampai sekarang tetap dianggap penjajah oleh rakyat Libya. Apa yang terjadi di Irak dan Afganistan sekarang adalah bukti yang nyata. Rakyat Irak, meskipun mereka tidak setuju terhadap rezim sebelumnya yang lalim seperti Saddam Husain, bukan berarti mereka menerima Amerika Serikat. Negara super power ini tetap saja dianggap sebagai penjajah. Anggapan ini bukan tanpa alasan, tetapi memang didukung oleh fakta-fakta kekejaman negara itu.
Kalaupun ada yang gembira dengan kedatangan penjajah tersebut, jumlah mereka sangat sedikit. Mereka pada umumnya adalah pengkhianat yang hanya menginginkan kesenangan harta dan kekuasaan. Syariat Islam yang ingin diterapkan jelas bukan hanya simbol atau kulitnya saja, tetapi benar-benar secara keseluruhan. Dengan demikian, Islam sebagai rahmat bagi semua akan terwujud. Seperti pengakuan Phillip Hitti dalam Short History of The Arab tentang sumbangan orang-orang Arab (Islam) bagi kemajuan manusia, “During all the first part of the Middle Age, no other people made as important a contribution to human progress as did the Arabs….”
Hal yang sama dinyatakan oleh Carleton, saat mengomentari peradaban Islam dari tahun 800 M hingga 1600 M, menyatakan, “Peradaban Islam merupakan peradaban yang terbesar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adidaya (super state) yang terbentang dari satu samudera ke samudera lain; dari iklim utara hingga tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya, dengan perbedaan kepercayaan dan suku.”(Technology, Business, and Our Way of Life: What’s Next). []
Oleh Farid Wadjdi
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami