Sabtu, 14 Mei 2011

Menelisik Makna Kebangkitan Nasional: Dari Kebangkitan Semu Hingga Kebangkitan Hakiki (1)

.:Kebangkitan Nasional yang Penuh Rekayasa:.
 Menghadirkan profil Boedi Oetomo sebagai tonggak kebangkitan negeri ini sebenarnya perlu dikaji kembali. Rasanya sudah ada banyak fakta yang dipaparkan bahwa organisasi tersebut jauh berbeda faktanya dengan apa yang selama ini dipahami. Sejak pendiriannya hingga kongres pertama di Yogyakarta, Budi Utomo telah memutuskan untuk membatasi geraknya kepada penduduk Jawa dan Madura dan tidak akan melibatkan diri dalam kegiatan politik. Fokus utama kegiatan Budi Utomo adalah pada bidang pendidikan dan budaya. Kebanyakan pendukung Budi Utomo berasal dari priyayi rendahan yang menganggap perlu meluaskan pendidikan barat. Pengetahuan bahasa Belanda ditempatkan sebagai prioritas pertama, karena tanpa bahasa itu seseorang tidak dapat mengharapkan kedudukan yang layak dalam jenjang kepegawaian kolonial.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Budi Utomo cenderung untuk memajukan pendidikan bagi golongan priyayi daripada bagi penduduk pribumi pada umumnya. Sifat tertutup untuk suku jawa dan madura pun bisa dijadikan bukti bahwa organisasi ini berdiri pada asas sukuisme dan chauvinisme, yang mana mereka tidak mau menerima keanggotaan dari suku lain. Apalagi menilik bahwa semangat yang diemban para pendirinya adalah kesejahteraan terkhusus bagi golongan priyayi, bukan masyarakat Indonesia pada umumnya, sehingga mereka tidak punya IDEALISME, terbukti BU membutuhkan kerjasama Belanda kolonial demi memuluskan jalannya kegiatan mereka.

Kebohongan besar jika akhirnya Boedi Oetomo diidentikkan sebagai ikon kebangkitan nasional, sebagaimana banyak dijumpai di literatur sejarah. Hal semacam ini bisa dikategorikan kebohongan sejarah, persis seperti apa yang terjadi pada perjuangan Kartini.

.:Kebangkitan atau Kebangkrutan?:.

Ternyata makna kebangkitan nasional itu sangat sangat ambigu dan terkesan omong-kosong saja. Hal ini bisa dideteksi bukan hanya dari pemaksaan Boedi Oetomo sebagai akar kebangkitan itu, tapi dari potret kebangkitan yang dimaknai lebih dari 100 tahun. Ya, bangsa ini telah melalu tanggal 20 Mei hampir ke-103 kalinya. Sudah sangat tua sebenarnya, sungguh 103 tahun merupakan umur yang bukan lagi kecil, akan tapi umur yang sudah tua. Apakah 103 tahun kebangkitan ini sudah membawa banyak perubahan yang signifikan terhadap bangsa ini ??

Mari tengok sektor pendidikan, berapa banyak anak yang tidak mampu melanjutkan sekolah? Berapa banyak siswi sekolah yang harus rela belajar di tanah terbuka karena gedung sekolah mereka ambruk? Berapa banyak guru honorer yang telah mengabdi puluhan tahun namun tidak mendapatkan kehidupan yang memadai? Berapa banyak lulusan SMP dan SMA yang harus gantung diri hanya karena nilai UAN mereka di bawah standar? Sama seperti bagi mereka yang duduk di perguruan tinggi, banyak yang memilih menjual diri atau putus kuliah karena memang kuliah itu diperuntukkan hanya bagi mereka2 yang berkantong tebal.

Sektor kesehatan, tidak terhitung penderita gizi buruk di negeri ini. Banyak kita temui orang-orang miskin yang memilih mengakhiri hidup demi menahan rasa sakitnya karena biaya pengobatan tak pernah terjangkau kantung mereka.




Belum lagi di bidang hukum dan peradilan, kepincangan hukum yang sedemikian parah begitu nyata terpapar di depan kita. Masih ingatkah kita pada seorang nenek yang mencuri biji coklat dan dihukum sekian bulan, sementara koruptor yang mencaplok dana miliaran ruiah begitu nyaman melenggang keluar-masuk penjara.

Bidang kesejahteraan sosial, sudah berapa kali BBM kita naik harga? sudah berapa kali TDL kita melonjak? pergi kemana dana BLT yang cuma 100ribu/bulan itu? Sungguh kekayaan alam Indonesia yang begitu kaya, yang PASTI mampu digunakan untuk memenuhi pendidikan, kesehatan, transportasi hanya dinikmati tak lebih dari 5% manusia saja.

Jangan tanyakan bidang ekonomi dan pemerintahan, rasanya seperti menggali lubang sampah saja jika fakta-fakta kebobrokan negeri ini dipaparkan. DPR yang gemar studi banding alias jalan-jalan, alokasi pembangunan gedung yang di luar akal, dan banyak sikap anti rakyat dari pemerintah kita yang sama sekali tak sejalan dengan janji-janji mereka di awal pemilu dulu.

Padahal...
Data Kemiskinan di Indonesia
- Angka kemiskinan di Indonesia: 72 juta orang
- Jumlah pekerja yang sudah terkena PHK: 29.578 orang
- 38.817 orang lagi sudah masuk daftar tunggu PHK
- 41.993 pekerja sudah dirumahkan
- 21.191 pekerja menunggu proses dirumahkan.
- 680.000 tenaga kerja Indonesia terancam dipulangkan.

Sumber: Pusat Informasi KOMPAS, 22 Februari 2011

TEMPO Interaktif, Jakarta: Tingkat kejahatan di Indonesia meningkat dibanding tahun lalu. "Namun, peningkatannya tidak terlalu mencolok," ujar Kapolri Jenderal Polisi Da’i Bachtiar dalam jumpa pers akhir tahun, Jumat (31/12).

Tahun ini, diprediksikan kejahatan yang terjadi sekitar 209.673 kasus, sedangkan tahun lalu 196.931 kasus. Persentase penyelesaian kasus, menurut Kapolri, masih sama karena berkisar pada 55 persen dibandingkan dengan tahun lalusebesar 56 persen.

Menurut Da’i, rata-rata potensi orang terkena kejahatan sama dalam 3 tahun terakhir, yaitu 86 orang per 100.000 penduduk pertahun.

Kejahatan konvensional seperti pencurian dengan kekerasan dan pencurian kendaraan bermotor mengalami peningkatan, dari 94.594 kasus menjadi 99.448 kasus atau naik 5.16 persen.

Namun, untuk kejahatan transnasional, seperti korupsi mengalami peningkatan. Korupsi di tahun 2010 masih sebanyak 180 kasus yang terungkap, sementara tahun 2004 sebanyak 191 kasus.  
SELEBIHNYA TIDAK..!!!!!!!!!
TERUNGKAP NAMUN TIDAK SELESAI..
Satu yang harusnya jadi pertanyaan besar buat kita, INIKAH KEBANGKITAN ITU? Inilkah pemaknaan 'bangkit' yang dipahami bangsa ini? Jelas ini adalah KEBANGKRUTAN bukan KEBANGKITAN!

.:Kebangkitan Yang Pernah Mewarnai Sejarah:.

Telah menjadi suatu sunnatullah bahwa yang mampu membangkitkan masyarakat adalah aqidah, yakni pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang kehidupan, baik kehidupan dunia, sebelum dunia maupun sesudahnya. Mengenai sumber pemikiran yang menjadi landasan kebangkitan itu sendiri bisa saja merupakan hasil dari kejeniusan manusia, karena potensi untuk bangkit memang dimiliki manusia secara universal. Hal ini diterangkan Allah dalam ayat:

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."(QS. Ar-Ra'du: 11)

Ayat ini bersifat 'aam (umum), yakni siapa saja dapat mencapai kemajuan dan kejayaan bila mereka telah mengubah sebab-sebab kemundurannya. Mengubah keadaan agar bangkit, selalu diawali dengan merumuskan konsep-konsep kebangkitan. Dan jika konsep tersebut ternyata mampu mengoptimalkan potensi manusia dengan suatu pemikiran yang menyeluruh, tentulah kebangkitan yang dimaksud dapat diraih.

Tetapi dari sekian banyak konsep tentang kehidupan yang muncul selama perjalanan sejarah, ternyata yang sampai pada kategori pemikiran menyeluruh (aqidah) yang mampu membangkitkan manusia (dalam arti meningkatnya kreativitas untuk memecahkan problema), hanyalah tiga macam, yakni aqidah sekularisme, komunisme, dan Islam. Dan diantara ketiganya, hanya Islam saja yang bukan bersumber dari rekaan manusia, melainkan dari wahyu Allah SWT.

Negara-negara Eropa dan Amerik pada abad 18 M bangkit berlandaskan sekularisme dan liberalisme. Sementara Rusia bangkit dengan fikrah materialisme (al-maadiyah). Atas dasar fikrah ini, melalui Revolusi Bolshevik tahun 1917 yang merobohkan kekuasaan Para Tsar, berdirilah pemerintah Rusia. Bahkan sepanjang kurun 70 tahun kemudian pernah menjadi salah satu adikuasa dunia.

Sementara, dunia Arab sejak abad ke-7 bangkit dengan fikrah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. sebagai risalah Allah SWT. Di atas landasan fikrah ini didirikanlah pemerintahan Islam yang mampu mencapai kebangkitan bukan saja di dunia Arab, melainkan mencakup seluruh kekhilafahan Islam di masa kejayaannya selama lebih dari sepuluh abad. Ini semua merupakan argumen yang logis, bahwa jalan untuk mencapai kebangkitan adalah dengan mendirikan suatu pemerintahan atas dasar sebuah fikrah kulliyah, yakni aqidah.

Maka, jikalau aqidah Islam telah luntur dari sebagian besar kaum muslimin, maka kejayaan akan hilang dan berganti menjadi kemerosotan. Sekalipun pada sebagian umat Islam mungkin masih dimiliki aqidah yang utuh, namun aturan yang dipakai untuk memecahkan problema sehari-hari oleh negara dimana mereka tinggal bukan bersumber dari aqidah Islam. Mereka menerapkan aturan sekuler, hanya lantaran silau terhadap apa yang dinamakan kemajuan yang diraih negara-negara Barat, bukan karena mereka menguasai fikrahnya. Sehingga wajarlah kalau mereka tidak pernah mencapai kebangkitan seperti yang diperoleh dunia Barat, karena hanya "mencuplik" aturannya tanpa dilandasi fikrahnya secara menyeluruh.

Bukti paling jelas yang menunjukkan kebenaran pernyataan diatas adalah pemerintahan sekuler yang didirikan Mustafa Kemal Ataturk di Turki. Sebelumnya, dia meyakini bahwa dengan menerapkan sistem pemerintahan diatas landasan perundangan dan hukum-hukum Barat, dan memusnahkan sama sekali segala sesuatu yang berbau Islam, akan dicapai kemajuan. Sistem tersebut ternyata memang dapat diterapkan dengan kekuatan, akan tetapi hingga saat ini tidak satupun menghasilkan suatu kebangkitan. Turki sekuler bukannya maju malahan jauh lebih mundur dibandingkan masa-masa sebelumnya (1924). Sementara, Lenin di Rusia dalam kurun yang tidak berbeda jauh (tahun 1917) ternyata mampu membangkitkan Rusia menjadi suatu kekuatan yang disegani dan ditakuti dunia. Ini tidak mengherankan, karena Lenin mendirikan pemerintahannya diatas landasan suatu fikrah menyeluruh yakni aqidah komunisme (syuyu'iyyah). Dari fikrah ini terpancar pemecahan problematika kehidupan sehari-hari dalam wujud perundang-undangan. Dengan membandingkan dua negara diatas, jelas bagi kita bahwa berdirinya pemerintahan diatas dasar perundang-undangan semata, tanpa dilandasi pemikiran menyeluruh, justru menghalangi rakyat menuju kebangkitan.

Contoh lainnya adalah tindakan Gamal Abdul Nasser di Mesir. Pada tahun 1952 dia melakukan kudeta dan mengganti sistem pemerintahan dari Kerajaan menjadi Republik (al-jumhuriyyah). Dengan begitu semangat ia menggerakkan land-reform dan menerapkan sistem sosialisme yang dipropagandakan sebagai sosialisme negara. Akan tetapi yang dialaminya justru hanya kekecewaan. Hasilnya? Mesir tetap tidak bangkit. Bahkan sebaliknya dari segi fikrah, ekonomi dan politik jauh lebih mundur dibanding sebelum tahun 1952.

Gejala serupa kini dialami oleh banyak negara yang mayoritas penduduknya muslim. Pengambilan perundangan Barat (sekular), Timur (sosialis) ataupun Islam secara parsial dan campur aduk, tanpa dilandasi satu fikrah tertentu tidak mungkin menghasilkan kebangkitan.

======== TO BE CONTINUE =========== 



1 komentar:

insidewinme mengatakan...

Kita menghendaki kebangkitan yang tidak terbatas pada ibadah dan perbuatan mandub saja. Akan tetapi, kita menghendaki kebangkitan atas hukum-hukum Islam keseluruhan baik dalam pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, hubungan luar negeri, tsaqafah dan pendidikan, politik dalam negeri dan luar negeri dan dalam seluruh urusan umat, baik secara individu, kelompok maupun negara.

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami


Baca Juga Situs JIhad dan informasi tambahan Republika Online.

I'dadun naas li tarhiibi qiyaamil khilafah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | free samples without surveys