Sistem/rezim sekuler—yang memisahkan agama dari kehidupan—di Indonesia nyata-nyata telah gagal. Indonesia terpuruk hampir dalam semua lini kehidupan. Hingga saat ini, kemiskinan, kebodohan, ketidakamanan, kriminalitas, mahalnya pendidikan dan kesehatan, serta buruknya sarana transportasi masih menjadi problem yang menjerat Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan primer saja—seperti sandang, pangan, dan perumahan—kebanyakan rakyat Indonesia mengalami kesulitan, apalagi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder.
Lebih dari itu, Indonesia saat ini terperangkap dalam utang luar negeri yang sangat besar; Indonesia juga dikuasai oleh negara-negara Barat imperialis. Karena itu, negeri kita ini sebetulnya telah lama terjajah secara politik, ekonomi, pemikiran bahkan secara militer. Akibatnya, kita tidak bisa memiliki kekuasaan atas wilayah kita sendiri; kita tidak memiliki kemerdekaan dan kedaulatan sendiri; bahkan kita juga tidak bisa memperoleh sarana hidup yang layak meskipun dalam batas yang paling minimal. Jadi, relakah kita terus-menerus berada dalam kemiskinan, kehinaan, dan jauh dari Allah?
Ada sebagian kalangan yang mungkin berpendapat, bahwa keterpurukan dan kemiskinan kita bukanlah akibat sekularisme, karena negeri-negeri Barat yang juga notabene sekuler toh bukanlah negeri-negeri yang terkategori miskin dan terbelakang. Terhadap pendapat tersebut kami menjawab, bahwa keterpurukan dan kemiskinan kita adalah akibat sekularisme dan juga perilaku manusianya.
Dalam tataran praktis, jika kita membandingkan efesiensi dan efektivitas antara sistem Islam dan sistem/rezim sekuler, kita akan melihat beberapa kenyataan berikut:
1. Adanya ketakwaan kepada Allah yang dimiliki oleh setiap pribadi Muslim yang hidup dalam sistem Islam. Dalam hal ini, ketika sistem yang bersumber dari akidah Islam diterapkan atas kaum Muslim, maka setiap individu Muslim akan mematuhi dan menaati, bahkan menjunjung tinggi sistem tersebut. Sebab, ia menyadari bahwa sikap demikian pada dasarnya adalah bagian dari sikap menaati Allah sekaligus merupakan bentuk penghambaan kepada-Nya, yang akan mendapatkan pahala yang besar dari sisi-Nya. Seorang Muslim tidak membutuhkan polisi yang mengawasi dirinya agar ia terikat dengan sistem Islam, karena ketakwaannya kepada Allah telah cukup menjadi faktor pendorong yang paling mendasar bagi dirinya untuk terikat dengan sistem tersebut.
Sebaliknya, ketika kita menerapkan sistem dan perundangan-undangan sekuler yang notabene kufur yang dibuat berdasarkan hawa nafsu dan syahwat manusia, maka seorang Muslim tidak akan merasa perlu menghormti dan menaati sistem dan perundang-undangan tersebut. Dia malah berusaha untuk melepaskan diri dari 'jeratan' perundangan-undangan tersebut sekaligus melanggarnya jika tidak ada polisi yang mengawasi dirinya. Bahkan, dalam sistem sekuler, polisi sendiri sering tidak berusaha menjalankan fungsinya sebagai penjaga undang-undang yang diberlakukan. Yang terjadi, tidak jarang polisi mudah disuap dan gampang berkompromi dengan para pelanggar undang-undang yang ada. Inilah yang terjadi dalam sistem sekuler dari mulai kepala negara hingga para pegawai di tingkat bawah.
2. Kuatnya pengaruh opini umum Islam. Dalam kondisi ketakwaan seorang Muslim kepada Allah lemah dan dia berniat melanggar hukum-hukum Allah, maka opini umum Islam di tengah-tengah masyarakat akan mencegahnya. Hal ini didasarkan pada kesadaran yang menghujam di tengah-tengah masyarakat Islam tentang kewajiban beramar makruf nahi mungkar yang mereka pahami dari ratusan nash al-Quran maupun as-Sunnah. Dalam sistem Islam, setiap Muslim—meskipun bukan termasuk pejabat atau pegawai negara—akan merasa bertanggung jawab untuk menjaga agar setiap orang terikat dengan syariat Islam yang diberlakukan negara. Tanggung jawab ini disadari sebagai kewajiban dari Allah, karena Rasulullah saw. telah bersabda:
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيمَانِ»
Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tetap tidak mampu, dengan kalbunya. Itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim).
Karena itu, kuatnya pengaruh opini Islam di tengah-tengah masyarakat Islam akan mampu mencegah banyak orang untuk melakukan pelanggaran terhadap berbagai peraturan yang diterapkan negara.
3. Ketegasan polisi dan keadilan hukum Islam. Jika ketakwaan individu Muslim dalam keadaan lemah dan dia mampu menyembunyikan pelanggarannya terhadap hukum Islam dari penglihatan orang banyak, maka di sinilah fungsi seorang penguasa dalam sistem Islam, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Utsman bin Affan:
]إِنَّ اللهَ يَزَعُ بِالسُّلطَانِ مَا لاَ يَزَعُ بِاْلقُرْأَنِ[
Sesungguhnya Allah mencegah—melalui tangan penguasa—kemungkaran yang tidak bisa dicegah dengan al-Quran.
Dalam kondisi seperti ini, penguasa akan memberlakukan sanksi hukum ('uqûbât) atas setiap pelanggar hukum Islam sesuai dengan kadar pelanggarannya. Sanksi hukum dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa (jawâbir)—bagi pelaku pelanggaran—sekaligus pencegah (zawâjir)—bagi orang lain yang berniat melakukan pelanggaran. Hal semacam ini tidak akan menciptakan dendam-kesumat pada diri orang yang dikenai sanksi terhadap hakim atau penguasa. Sebab, pelanggar sudah tahu bahwa sanksi yang diberlakukan atas dirinya di dunia adalah ketetapan Allah; ia pun sadar bahwa sanksi atas dirinya di dunia akan menghapus dosanya di akhirat.
Dengan demikian, undang-undang Allah menciptakan keadilan, bukan kezaliman, dan penguasa dalam Islam adalah pelaksana hukum-hukum Allah, yang tidak akan berurusan dengan perasaan dendam dan kedengkian.
Selain hukum Islam, tidak ada hukum lain di dunia ini yang memiliki keseimbangan semacam ini, yakni ketakwaan inidividu dan pengaruh opini umum Islam di tengah-tengah masyarakat. Penerapan hukum dan perundang-undangan buatan manusia, sebagaimana perundang-undangan Barat sekuler, semata-mata berpijak pada faktor polisi dan ketegasan perundang-undangan yang diberlakukan. Sebab, sebagian besar masyarakat tidak memiliki rasa hormat dan ketaatan terhadap undang-undang yang diberlakukan; bahkan mereka akan selalu berusaha keras mencari celah manfaat/keuntungan bagi mereka sendiri dengan cara melakukan manipulasi terhadap perundang-undangan yang berlaku.
Dalam sistem sekuler saat ini, perilaku kaum Muslim mengalami kemunduran yang luar biasa. Mereka tidak lagi merasa sebagai para pengemban risalah Allah kepada seluruh manusia, padahal mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh manusia. Mereka seolah merasa, bahwa diri mereka adalah para pengikut setia kaum kafir imperialis, dan bahwa orang-orang kafir adalah penguasa, pemimpin, dan pemilik peradaban universal. Perilaku yang hina dan rendah ini telah menjadikan mereka rela hidup tak ubahnya sebagai budak.
Wahai kaum Muslim Indonesia, Anda sekalian saat ini sedang dihadapkan pada pemilihan kepala negara/presiden. Karena itu, tolaklah oleh Anda pemimpin yang menjadi pengekor sistem Barat sekuler; tolak juga sistem sekuler yang kufur ini. Berusahalah Anda sekalian untuk memilih pemimpin yang akan menegakkan Khilafah Islamiyah sekaligus menerapkan syariat Islam.
Wahai kaum Muslim, Anda sekalian memiliki sistem aturan yang telah diturunkan Allah untuk Anda dan untuk semua manusia. Sebaliknya saat ini, sistem yang berlaku adalah dibuat oleh manusia yang didasarkan pada hawa nafsu dan syahwat serta akal mereka yang sangat terbatas. Jadi, bagaimana mungkin Anda meninggalkan hukum Islam—sebagai rahmat bagi seluruh alam—yang telah diturunkan Allah Yang Mahabijak dan Mahatahu, sementara pada saat yang sama Anda menderita di bawah perundangan-undangan yang rusak dan bobrok; yang nyata-nyata telah menimbulkan kehinaan, kemiskinan, dan berbabagi persoalan yang mendera Anda sekalian?
Allah SWT berfirman:
]أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ[
Apakah kalian mau mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? (QS al-Baqrah [2]: 61).
Apabila orang-orang sekuler yang sesat dan telah terpengaruh pemikiran Barat berkeinginan menerapkan sistem Barat, lalu apakah kita akan diam saja dan membiarkannya? Hendaklah ada menyimak kembali firman Allah SWT berikut:
]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak pula bagi perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS al-Ahzab [33]: 36).
Allah SWT juga berfirman:
]إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ $ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ[
Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin itu, jika mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) mereka, ialah ucapan, "Kami mendengar dan kami patuh." Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang menaati Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS an-Nur [21]:51-52.)
Allah SWT juga berfirman:
]وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ[
Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS Ali Imran [3]: 133)
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami