Minggu, 24 Oktober 2010

KEBEBASAN BEREKSPRESI Sumber Kebejatan Moral Masyarakat


Sebetulnya, banyak sekali film dan sinetron, juga acara-acara TV lain yang menyuarakan kebebasan berekspresi, yang sebagian besar dekat dengan pornografi dan pornoaksi. Contohnya adalah acara-acara seperti KDI, AFI, Indonesian Idol, berbagai sinetron dan film, sampai acara seperti Jakarta Underground, dll.  
Fenomena yang sama juga gampang kita temui di tengah masyarakat. Contohnya adalah  dandanan sebagian kaum perempuan yang semakin nyleneh dan berani, yang menonjolkan sebagian—bahkan sebagian besar—auatnya di tempat-tempat umum. Belum lagi fenomena pergaulan dan seks bebas yang semakin lepas kendali di berbagai level masyarakat, bukan hanya di perkotaan, tetapi juga sudah merambah ke pedesaan. Semua itu antara lain dipicu oleh tayangan-tayangan media massa yang ‘rajin’ membius masyarakat dengan berbagai adegan pornografi dan pornoaksi. 

Buah Demokrasi
Jika kita telusuri, semua fenomena bejat di atas jelas berakar pada satu hal, yakni kebebasan berekspresi, sebagai perilaku yang dijamin dalam demokrasi. Artinya, kebebasan berekspresi dianggap sebagai sesuatu yang legal, karena tidak ada demokrasi tanpa adanya kebebasan.
Oleh karena itu, seiring dengan semakin gencarnya seruan demokratisasi di berbagai bidang, atau semakin demokratis kehidupan suatu negara, maka dengan sendirinya kehidupan di dalam negara itu juga semakin bebas. Menurut Syaikh Abdul Qadim Zalum, dalam bukunya, Ad-Dîmukrathiyyah Nizhâm Kufr, paling tidak ada 4 (empat) kebebasan yang dijamin dalam demokrasi: (1) kebebasan beragama; (2) kebebasan berpendapat; (3) kebebasan berekspresi/berprilaku; (4) kebebasan kepemilikan. Keempatnya adalah hal yang lazim dijamin pelaksanaannya di berbagai negara yang menerapkan demokrasi, termasuk di Indonesia. Meskipun demokrasi di Indonesia belum seliberal di Eropa atau Amerika, yakinlah bahwa lambat laun, jika agenda demokratisasi terus digulirkan—terutama oleh pemerintah—maka kebebasan yang dijamin demokrasi itu akan semakin kebablasan; semakin liberal! Sebab, demokrasi akan selalu berbanding lurus dengan kebebasan. Semakin maraknya pornografi dan pornoaksi, terutama yang ditampilkan dalam berbagai acara televisi akhir-akhir ini, hanyalah salah satu contohnya, yakni salah satu contoh dari kebebasan berekspresi/berprilaku yang 'lumrah' dalam sistem demokrasi.
Kebebasan berekspresi secara pasti juga menimbulkan banyak implikasi sosial serius, di antaranya semakin meningkatnya kasus narkoba dan semakin banyaknya jumlah penderita AIDS. Dengan semakin kencangnya laju demokratisasi, perilaku bebas tidak akan semakin berkurang, namun sebaliknya,  akan semakin lepas kendali serta mendapat tempat dan legalisasi.
Saat ini ada semacam kecenderungan untuk mengembangkan opini, “Semua terserah masyarakat.” Kalau masyarakat sudah merasa resah, terganggu dan dirugikan karena suatu kasus, kemudian mengajukan tuntutan, baru akan diambil tindakan. Opini semacam ini sangat berbahaya dan merusak, setidaknya dapat dilihat dari beberapa sisi berikut:
Pertama, kita sepakat bahwa para penguasa/pejabat diangkat untuk menjaga masyarakat. Karena itu, mereka harus berpikir dan bersikap sebagai penjaga dan pengayom masyarakat. Mereka akan bersikap proaktif, preventif, dan menjauhkan segala hal yang bisa merusak masyarakat sekalipun hal itu menguntungkan sebagian orang. Dengan demikian, ungkapan di atas  lebih mencerminkan gaya pikir dan sikap pejabat yang mau enaknya sendiri, tidak mau susah, sembrono dengan nasib masyarakat, dan cenderung mengorbankan mereka. 
Kedua, opini di atas tidak mencegah masyarakat dari kerusakan. Sebab,  tindakan hanya akan diambil jika sudah mengganggu, merugikan, dan merusak masyarakat. Bahkan, yang lebih parah lagi, tindakan hanya akan diambil kalau ada tuntutan resmi dari masyarakat sendiri. Akibatnya, ketika diambil tindakan, sudah banyak anggota masyarakat yang menjadi korban; kerusakan masyarakat sudah terjadi di sana-sini.
Ketiga, baik-buruk, benar-salah, dan manfaat-madarat tidak boleh bergantung kepada penilaian masyarakat.  Semua itu harus dikembalikan kepada Zat yang Mahatahu, artinya dikembalikan kepada penilaian syariat islam.  Allah swt berfirman:
]كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ[
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS. al-Baqarah [2]: 216)

Dengan demikian, sedari awal, segala hal yang buruk, berbahaya, dan memadaratkan masyarakat dapat dibuang jauh-jauh.  Ungkapan “semua terserah masyarakat” bisa dinilai sebagai pengingkaran dan pembangkangan terhadap Zat Yang Mahatahu, Allah SWT.
Keempat, Allah memperingatkan:
]وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ[
Jika kamu menuruti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.  (QS al-An‘am [06]: 116).

Masyarakat bagaikan satu tubuh; setiap  anggota masyarakat adalah bagian dari anggota tubuh itu. Oleh karena itu, tindakan sebagian anggota masyarakat—dilihat dari segi manfaat dan madaratnya—tidak dipandang hanya menimpa sebagian orang itu melainkan menimpa masyarakat seluruhnya. Perilaku ‘semau gue’ alias bertindak bebas tanpa mau terikat dengan syariat bisa dinilai sebagai tindakan yang akan menghancurkan masyarakat.
Masyarakat kita adalah masyarakat manusia, bukan komunitas binatang.  Layaknya masyarakat manusia, segala interaksi yang ada di dalamnya haruslah mencerminkan ketinggian martabat kemanusiaannya. Keinggian martabat manusia sendiri terletak pada ketinggian akalnya yang dibimbing oleh wahyu, bukan pada hawa nafsunya yang dibimbing oleh setan. Karena itu, jika perilaku bebas dalam memenuhi dorongan perut dan naluri manusia—yang bersumber dari hawa nafsu yang dibimbing oleh setan itu—justru diberi tempat, sarana, dibiarkan, dilindungi bahkan dijamin oleh undang-undang, maka sepantasnya kita bertanya kepada diri kita sendiri: apakah kita memang menghendaki  masyarakat kita menjadi hina dan turun  derajatnya dari masyarakat manusia ke  derajat yang lebih rendah? Apakah kita rela dan siap kehilangan martabat kita sebagai masyarakat manusia?

Pandangan Islam
Ide kebebasan berekspresi (berperilaku) justru telah menjatuhkan martabat masyarakat pada derajat hewani yang sangat rendah. Kebebasan itu telah menyeret manusia ke kehidupan serba-boleh (permissiveness), yang bahkan tidak pernah dijumpai dalam pergaulan antarhewan sekalipun. Allah SWT berfirman:

]أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلاَّ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً[
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (QS al-Furqan [25]: 43-44).

Ide kebebasan berekspresi telah menjatuhkan masyarakat Barat sampai pada derajat yang lebih rendah daripada binatang. Jika ide ini diserukan di tengah-tengah masyarakat kita, tidak mustahil masyarakat kita nantinya akan seperti masyarakat mereka. Tanda-tanda ke arah itu sudah banyak terlihat di tengah-tengah masyarakat kita. Meningkatnya penderita AIDS dan penyakit seksual, meningkatnya pengguna narkoba, banyaknya bayi lahir di luar nikah,  banyaknya kasus aborsi, maraknya prostitusi dan perselingkuhan, dan lain-lain; semua itu telah menjatuhkan martabat masyarakat kita sehingga tak ubahnya dengan masyarakat Barat.
Islam jelas mengharamkan ide kebebasan berekspresi. Islam mewajibkan semua aktivitas manusia terikat dengan syariat, karena hukum asal perbuatan adalah terikat dengan syariat. Karena itu, Islam telah menghadirkan aturan bagi semua aktivitas manusia. Hal itu bukan berarti bahwa Islam menghambat dan mengekang seseorang untuk berekpresi. Islam memberikan keleluasaan yang luas kepada setiap orang untuk berekspresi, berkreasi, dan berinovasi; tetapi tentu saja sesuai dengan batas-batas yang telah digariskan oleh Allah sebagai Penguasa manusia. 
Aturan Islam senantiasa menjunjung martabat luhur manusia. Oleh karena itu,  semua aktivitas yang menjatuhkan derajat manusia diharamkan oleh Islam. Islam memandang masyarakat sebagai satu kesatuan; bagaikan satu tubuh. Islam memandang bahwa manfaat dan madarat dari tindakan dan perilaku sebagian orang bukan hanya bagi sebagian orang itu, melainkan bagi masyarakat seluruhnya. Karena itu, Islam menjauhkan semua hal yang membahayakan masyarakat.
Berangkat dari dua pandangan ini maka Islam menghendaki semua ekpresi, kreativitas, dan inovasi dari setiap anggota masyarakat bersifat menjunjung martabat manusia dan tidak membahayakan masyarakat; yaitu ekpresi, kreativitas, dan inovasi yang produktif dan membangun, bukan yang hanya menurutkan hasrat hewani dan pelampiasan hawa nafsu dan syahwat.

Peran Masyarakat
Rasul mengibaratkan masyarakat seperti sekelompok orang naik kapal, jika ada yang berpikir picik melubangi bagian bawah kapal supaya mudah mengambil air, maka semua penumpang kapal harus mencegah orang tersebut. Kalau tidak, kapal itu akan tenggelam.  Begitu juga jika ada sebagian anggota masyarakat yang bertindak membahayakan dan merusak masyarakat, maka masyarakat harus bertindak mencegahnya. Kalau tidak, seluruh masyarakat akan binasa.
Rasulullah saw. bersabda:

«إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ الْعَامَةَ بِعَمَلِ الْخَاصَةِ حَتَّى يَرَوْا الْمُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرَانِيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوْهُ فَلاَ يُنْكِرُوْهُ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَذَّبَ اللهُ الْعَامَةَ وَالْخَاصَةَ»
Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena perbuatan orang-orang tertentu hingga masyarakat umum melihat kemungkaran di hadapan mereka, sedangkan mereka mampu mengingkarinya, tetapi mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka berbuat demikian, Allah pasti akan menyiksa masyarakat umum dan orang-orang tertentu itu. (HR Ahmad dan Ath-Thabrani).

Oleh karena itu, masyarakat secara umum harus berusaha sekuat mungkin dan sungguh-sungguh untuk mencegah dan menghalangi perilaku bebas. Masyarakat harus meningkatkan intensitas amar makruf nahi mungkar, baik dalam hal kualitas ketegasan maupun kuantitasnya.
Tindakan fisik dengan kekuatan dan kekuasaan sesungguhnya sangat efektif untuk mencegah dan menghilangkan perilaku bebas. Penguasa sebagai pihak yang memegang kekuatan dan kekuasaan bertanggung jawab atas pelaksanaan aktivitas ini.  Masyarakat harus lebih tegas lagi menasihati, mendorong, dan menuntut penguasa agar menghilangkan perilaku bebas khususnya, dan segala bentuk kemungkaran umumnya, dengan kekuatan dan kekuasaan yang ada di tangannya.
Hal ini merupakan salah satu tanggungjawab negara dan pemerintah, yang akan dipertanggungjawabkan kelak pada Hari Kiamat.
«فَاْلأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
Seorang pemimpin (penguasa) adalah pemelihara; dia bertanggungjawab atas pemeliharaan mereka. (HR al-Bukhari).

Tersebarnya segala bentuk perilaku bebas akan menyebabkan kerusakan masyarakat. Ini jelas tidak boleh (haram) terjadi. Sebab, segala sarana yang mengantarkan pada suatu keharaman hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, pemerintah wajib mencegah, menghalangi, dan menghilangkan semua bentuk perilaku bebas di tengah masyarakat.  Jika tidak, pemerintah telah berdosa di hadapan Allah dan telah mengkhianati rakyat yang telah mempercayakan keselamatan masyarakat kepadanya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami


Baca Juga Situs JIhad dan informasi tambahan Republika Online.

I'dadun naas li tarhiibi qiyaamil khilafah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | free samples without surveys