Menurutnya, fakta bahwa di bawah sistem kapitalisme rezim SBY dan rezim-rezim sebelumnya yang tidak mampu membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera, semestinya menjadi sorotan utama.
"Teramat banyak kegagalan sistem kapitalisme baik dalam segala bidang di negeri ini,\" kata Arim Nasim kepada Hidayatullah.com, Ahad, (23/01).
Nasim mengatakan, setidaknya ada sejumlah kerancauan yang menunjukkan kegagalan tersebut terutama dalam bidang ekonomi.
Di antaranya, kata Nasim, pemerintah mengklaim bahwa PDB terus tumbuh positif dan diperkirakan hingga 6 persen di tahun 2010. Padahal, inidikator makro tersebut pada faktanya merupakan pertumbuhan nilai tambah sejumlah sektor ekonomi yang bersifat agregat.
\"Besarnya jumlah PDB sama sekali tidak dapat menggambarkan kesejahteraan rakyat secara akurat,\" terang Nasim.
Meski PDB Indonesia terbesar ke-18 di dunia sebagiaman yang terus dibangga-banggakan oleh pemerintah, namun indikator kesejahteraan Human Development Index (HDI) UNDP masih menempatkan Indonesia pada urutan ke 108 dari 169 negara.
Sementara itu, pemerintah juga mengklaim bahwa penduduk miskin di Indonesia terus berkurang dari tahun ke tahun. Tahun 2010 jumlahnya mencapai 13,3% atau 31 juta orang berada di bawah garis kemiskinan.
Namun, penduduk miskin menurut pemerintah adalah penduduk yang pengeluaran perbulannya di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. Pada 2010 nilanya Rp 211,726 perkapita perbulan. Dengan kata lain, jika seseorang berpendapatan Rp 220,000 maka ia tidak lagi dikategorikan sebagai orang miskin.
Berdasarkan Survey Rumah Tangga Sasaran Penerima Bantuan Langung Tunai (BLT) oleh BPS tahun 2008 diperkirakan 70 juta orang yang masuk kategori miskin dan hampir miskin (near poor). Angkanya lebih tinggi lagi jika dilihat dari penduduk yang membeli beras miskin pada 2009 yang mencapai 52 persen atau 123 juta orang.
Di sektor yang lain, pemerintah sering membanggakan penurunan jumlah angka pengangguran. Dari data statistik Tenaga Kerja BPS memang menunjukkan penurunan jumlah pengangguran secara persisten hingga menjadi 7,14% atau 8,3 juta angkatan kerja.
Tapi, lanjut Nasim, jika dicermati definisi tenaga kerja yang digunakan oleh BPS jumlah tenaga kerja tersebut hanya memotret mereka yang berkerja minimal satu jam perhari dalam seminggu terakhir. Termasuk pula mereka yang membantu bekerja namun tidak dibayar.
Maka dengan demikian, lanjut dia, para pengatur lalu lintas ’swasta’, atau kuli yang bekerja minimal sejam perhari dalam satu minggu terakhir disebut sebagai tenaga kerja. Dengan kriteria demikian, maka sangat wajar jika angka penggangguran diklaim terus menurun namun tingkat kesejahteraan rakyat tidak membaik.
Apalagi seiring dengan kegagalan pemerintah mengendalikan inflasi khususnya administered inflation (barang yang harganya diatur oleh pemerintah) seperti BBM dan TDL dan volatile inflation (inflasi barang yang bergejolak) seperti pangan, membuat pendapatan riil mereka yang bekerja terus menurun. Harga-harga membumbung tinggi sementara pendapatan nomil tidak berubah.
"Walhasil, rakyat Indonesia betul-betul menderita hidup dengan aturan kapitalisme sekuler," tegas Nasim.
Nasim menambahkan, semestinya kegagalan sistem kapitalisme dalam mensejahterahkan rakyat tidak perlu terus berulang lagi jika rakyat Indonesia mau menjalankan tatanan kehidupan Islam yang sejalan dengan tuntunan aqidah mereka. *
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami