Tegaknya syariat Islam tidak lepas dari keberadaan penguasa kaum Muslim yang menerapkan hukum Islam, menjaga akidah Islam, melindungi kepentingan umat Islam, dan melakukan dakwah Islam. Penguasa tersebut sering disebut sebagai khalifah, imam, amirul mukminin, atau sultan.
Terlepas dari soal penamaan ini, penguasa kaum Muslim pada dasarnya adalah penguasa otoritatif yang diakui keberadaannya oleh kaum Muslim; mereka menjaga dan membela kaum Muslim dari berbagai pihak yang mencoba menganggu eksistensi kaum Muslim serta memelihara kaum Muslim sedunia.
Para ahli sejarah mengakui, Kekhilafahan Islam itu memang ada dan menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Spanyol sampai Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayah (660-749 M), dilanjutkan oleh Kekhilafahan Abbasiyah kurang lebih satu abad (750-870 M), serta Kekhilafahan Utsmaniyah sampai 1924 M.
Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka, dan Samudra Hindia.[1] Hal ini dengan sendirinya memberi dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi, karena banyaknya pendakwah Islam yang sekaligus berprofesi sebagai pedagang.
Tulisan ini akan mengkaji pengaruh keberadaan Khilafah Islam yang berpusat di Timur Tengah, khususnya pada masa Utsmaniyah, terhadap kehidupan umat Islam di Nusantara. Kajian didasarkan pada suatu kerangka analisis bahwa dengan adanya Khilafah, umat Islam berada di bawah satu kepemimpinan. Khalifah merupakan pelindung kaum Muslim. Para penguasa kaum Muslim di berbagai belahan dunia dengan sendirinya akan mengakui dan tunduk pada Khalifah. Gangguan terhadap umat Islam di suatu negeri dianggap sebagai gangguan terhadap seluruh kaum Muslim; Khalifah akan berperan aktif mengamankannya.
Bertolak dari fakta-fakta inilah, penulis melihat adanya hubungan antara Kekhilafahan Islam dan para Sultan di Kepulauan Nusantara.
Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara—yang masih beragama Hindu sekalipun—mengakui kebesaran Khilafah.
Sultan Rum, Khâdim al-Haramayn
Munculnya Kekhilafahan Islam Turki Utsmani, terutama setelah berhasil melakukan penaklukan atas Konstantinopel yang merupakan ibu kota Romawi Timur pada 857/1453, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.”[8]
Sebelum kebangkitan Turki Utsmani, istilah Rum mengacu pada Byzantium, dan kadang-kadang juga pada Kerajaan Romawi. Akan tetapi,setelah kemunculan Turki Utsmani, istilah Rum beredar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara.[9]
Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941/1534, sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut Merah.
Sebagaimana disebutkan dalam berbagai buku sejarah, Semenanjung Malaka diduduki Portugis pada Abad ke-16. Ternyata hal ini juga menjadi perhatian Turki Utsmani.
Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah al-Qahhar naik tahta Aceh pada tahun 943/1537, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki, bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futûhât ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak.
Al-Qahhar menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abesinia.[14] Pasukan Turki terdiri dari 160 orang, ditambah 200 orang tentara dari Malabar. Mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya al-Qahhar dikirim untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946/1539.
Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo.[15]
Seorang sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futûhât terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh.[16]
Demikianlah, hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.
Khalifah Sulaiman al-Qanuni wafat tahun 974/1566. Akan tetapi, petisi Aceh mendapat dukungan Sultan Salim II (974-82/1566-74), yang mengeluarkan perintah Kekhilafahan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh. Sekitar September 975/1567, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan.[20]
Namun, dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir pada tahun 979/1571.[21] Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 sebanyak 500 orang, termasuk para ahli senjata api, penembak, dan para teknisi. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.[22]
Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya dengan sendirinya disambut dengan sukacita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar sebagai gubernur (wali) Aceh,[23] yang merupakan utusan resmi Khalifah yang ditempatkan di daerah Aceh.
Bendera Turki di Kapal Aceh
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti al-Qahhar kedua, yakni Sultan Mansyur Syah (985-98/1577-88) memperbarui hubungan politik dan militer dengan Utsmani.[24] Hal ini dibenarkan oleh sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993/1585 melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khilafah Utsmaniyah untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan serangan baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Alauddin Riayat Syah (988-1013/1588-1604) juga dilaporkan telah melanjutkan hubungan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki.[25]
Kapal-kapal atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian dari wilayah Kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 ton.[26] Kapal-kapal besar yang berasal dari Turki, yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang menganggu wilaya-wilayah Muslim di Nusantara.[27] Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti Portugis karena diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Kekhilafahan Turki sebagai bantuan Khalifah terhadap Aceh.[28]
Abdur Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyatuddin Shah untuk menduduki jabatan kadi/ hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al-Adil yang sudah lowong beberapa lama karena Nuruddin ar-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdur Rauf menerima tawaran tersebut.[31] Karena itu, ia resmi menjadi kadi/hakim (qâdhi) dengan sebutan Qadhi al-Malik al- Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi/hakim, Abdur Rauf diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qânûn) penerapan syariat Islam.[32] Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’ah al-Thullâb.
Menurut Abdur Rauf, naskah Mir’ah ath-Thullâb mengacu pada kitab Fath al-Wahhâb karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwâd, Tuhfah al-Muhtâj, Nihâyah al-Muhtâj, Tafsîr al-Baydawi, al-Irsyâd, dan Sharh Shahîh Muslim.[33]
Mir’ah ath-Tullâb mengandung semua hukum fikih Imam asy-Syafi’i, kecuali masalah ibadah. Peunoh Daly dalam disertasinya hanya menguraikan sebagian kandungan Mir’ah ath-Thullâb, terdiri dari: Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah (Penyusuan), dan Nafkah. Namun, terlepas dari itu, Aceh sebagai bagian dari Khilafah Islam memiliki qânûn (undang-undang) penerapan syariat Islam yang ditulis oleh Abdur Rauf as-Singkeli.
Penutup
Banyak bukti yang menunjukkan adanya hubungan yang dekat antara Aceh dan Khilafah Utsmani. Aceh seakan-akan dianggap sebagai bagian dari wilayah Turki Utsmani. Persoalan yang menimpa umat Islam di Aceh seakan-akan dianggap sebagai persoalan umat Islam secara keseluruhan. Khilafah Utsmani melindungi wilayah Aceh serta membantu Aceh melakukan futûhât dan dakwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Maman Kh.kandidat doktor dan staf pengajar UIN Syarief Hidayatullah)
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami