Rabu, 10 Oktober 2012

Pura-pura Memberantas Industri Korupsi


Oleh : Iwan Januar 

Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, satunya untuk saya jika saya korupsi
 
Kalau ada perbedaan antara ucapan dengan tindakan, mana yang akan lebih Anda percaya? Pastinya tindakan. Karena tindakan menunjukkan keaslian minat dan pikiran seseorang. Begitu juga dalam urusan pemberantasan korupsi dengan gampang kita bilang bahwa pemerintah tidak pernah serius memberantas korupsi. Pemerintah hanya bermain retorika.

Boleh saja presiden sesumbar bahwa dia akan berada di garis depan memimpin jihad melawan korupsi, seperti pernyataannya beberapa waktu lalu. Boleh saja kader-kader Partai Demokrat membuat iklan gede-gedean; katakan ‘tidak’ pada korupsi!
 

Tapi nahnu nahkumu bidz dzahir – kita menghukumi yang nampak. Pemerintah dan legistalif justru tidak menunjukkan semangat memberantas korupsi. Rentetan kejadian dan pernyataan politik baik dari pemerintah maupun wakil rakyat justru menunjukkan sebaliknya.
 

Beberapa hari lalu Sekretaris Kabinet (Seskab) Dipo Alam mengemukakan bahwa sejak Oktober 2004 hingga September 2012, Presiden SBY mengeluarkan 176 izin tertulis penyelidikan terhadap pejabat negara yang diminta oleh Kejaksaan Agung (82 permohonan), Kepolisian (93 permohonan) dan Komandan Puspom (1 permohonan).
 

Dari 176 persetujuan itu, untuk pemeriksaan Bupati/Walikota sebanyak 103 izin (58,521 persen); Wakil Bupati/Wakil Walikota 31 izin (17,61 persen); anggota MPR/DPR 24 izin (13,63 persen); Gubernur 12 izin (6,81 persen); Wakil Gubernur 3 izin (1,70 persen); anggota DPD 2 izin (1,13 persen); dan Hakim MK 1 izin (0,56 persen).
 

Jumlah ini berasal dari sejumlah partai yaitu Golkar 64 orang (36,36 persen); PDIP 32 orang (18,18 persen); Partai Demokrat 20 orang (11,36 persen); PPP 17 orang (3,97 persen); PKB 9 orang (5,11 persen).
 

PAN 7 orang (3,97 persen); PKS 4 orang (2,27 persen); PBB 2 orang (1,14 persen); PNI Marhaen, PPD, PKPI, Partai Aceh masing-masing 1 orang (0,56 persen); Birokrat/TNI 6 orang (3,40 persen); independen/non partai 8 orang (4,54 persen); dan gabungan partai 3 orang (1,70 persen).
 

Berikut sejumlah realita yang bisa saya himpun yang menunjukkan di negeri ini tidak pernah ada tindakan ‘serius’ untuk membasmi korupsi:
 

9 Des 2009
 
SBY mencanangkan jihad melawan korupsi pada pidato Hari Antikorupsi Sedunia”Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, saya akan terus berjuang di garis paling depan, bersama semua elemen pemberantasan korupsi untuk memimpin jihad melawan korupsi,” katanya saat itu.

21 April 2011
 
Kasus korupsi Wisma Atlet terbongkar setelah KPK menangkap Sekretaris Menteri Pemuda dan Olah Raga Wafid Muharam ejabat perusahaan rekanan Mohammad El Idris, dan perantara Mindo Rosalina Manulang karena diduga sedang melakukan tindak pidana korupsi suap menyuap. Penyidik KPK menemukan 3 lembarcek tunai dengan jumlah kurang lebih sebesar Rp3,2 milyar di lokasi penangkapan. Kasus ini menyeret nama Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin dan kader lainnya Angelina Sondakh.

7 Agustus 2011
 
Nazaruddin akhirnya tertangkap di Kolombia setelah melarikan diri berpindah-pindah ke beberapa negara.

Desember 2011
 
Komisi III DPR menolak usulan Menkumham Amir Syamsuddin untuk mengurangi pengurangan remisi masa tahanan bagi para koruptor. Padahal banyak koruptor yang dalam setahun mendapat 2 kali remisi.

Maret 2011
 
Pemerintah akan merevisi Undang-undang No 31/1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sedang disusun pemerintah. Salah satunya, pelaku kasus korupsi di bawah Rp 25 juta akan dilepaskan dari jerat hukum.

27 April 2012
 
Angelina Sondakh dijebloskan ke dalam penjara karena terlibat dalam korupsi Wisma Atlet.

September 2012
 
Komisi III DPR RI berencana melakukan revisi UU KPK yang akan mengurangi kewenangan KPK dalam penyadapan dan penuntutan. Bila revisi ini berhasil dilakukan maka taring KPK akan berkurang drastis.

Industri Korupsi
 

Mengapa korupsi sulit diberantas? Ini disebabkan korupsi telah berubah menjadi sebuah industri yang berurat berakar di sekujur pemerintahan dan juga swasta, bukan lagi budaya. Mengapa? Ada tiga alasan kuat; Pertama adalah persoalan mental serakah. Para pelaku korupsi itu sebenarnya telah hidup nyaman dengan penghasilan yang tinggi sebagai pejabat atau pegawai negara. Akan tetapi hedonisme yang telah menjadi gaya hidup masyarakat termasuk para pejabat dan pegawai negara membuat penghasilan mereka menjadi ‘tidak cukup’. Keserakahan memang amat berbahaya. Nabi saw. bersabda:
 

“Tidaklah pengrusakan dua serigala yang lapar yang dilepas dalam rombongan kambing melebihi dari pengrusakan yang diakibatkan sifat tamak rakus kepada harta dan kedudukan terhadap agama seseorang.”(HR. Tirmidzi).
 

Kedua, demokrasi telah menciptakan pemilu serta pilkada berbiaya tinggi. Hal ini mendorong parpol, masyarakat dan elit politik akhirnya mencari mesin uang untuk memenangkan pemilu atau pilkada. Mantan wapres Jusuf Kalla mengatakan bahwa biaya kampanye saat ini naik 10 kali lipat dibandingkan sebelumnya.
 

Sementara itu pakar hukum Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon Prof. DR. Marthinus Saptenno mengatakan biaya pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang relatif tinggi memicu terjadinya tindakan korupsi melibatkan sejumlah oknum gubernur, bupati dan wali kota di Indonesia.
 

“Biaya Pilkada pada satu daerah mencapai hingga puluhan miliar rupiah, sehingga bila berhasil menduduki jabatan kepala daerah itu, maka praktek kolusi, korupsi dan nepotisme terpaksa dilakukan untuk menutupi utang pihak ketiga,” katanya, di Ambon, Kamis.
 

Darimana parpol dan elit politik mencari dana? Kemana lagi bila bukan kepada para pengusaha. Dengan otak bisnisnya, para pengusaha tidak akan menyumbangkan uangnya tanpa pamrih. Tidak ada makan siang gratis sudah jadi hukum ekonomi yang berlaku di dunia politik. Dari sinilah politik ala demokrasi sudah menjadi industri dan akhirnya melahirkan industri korupsi.
 

Hasilnya? Kita sudah melihat banyak pejabat negara, kepala daerah, anggota dewan yang masuk bui karena kasus korupsi. Mendagri Gamawan Fauzi mengatakan sudah ada 158 kepala daerah tersandung kasus hukum akibat korupsi sebagai hasil pilkada langsung.
 

Ketiga, hukum yang diberikan kepada para koruptor amat ringan. Data Indonesian Corruption Watch (ICW) menunjukan koruptor rata-rata hanya dihukum di bawah dua tahun. Pada 2010, sebanyak 269 kasus atau 60,68 persen hanya dijatuhi hukuman antara 1 dan 2 tahun. Sedangkan, 87 kasus divonis 3-5 tahun, 13 kasus atau 2,94 persen divonis 6-10 tahun. Adapun yang dihukum lebih dari 10 tahun hanya dua kasus atau 0,45 persen.
 

Bisakah korupsi diberantas? Musykil rasanya. Karena pangkal korupsi itu justru ada dalam sistem demokrasi sendiri. Di alam demokrasi korupsi telah berubah menjadi industri dan mesin uang bagi elit-elit politik dan jiwa-jiwa yang serakah. Berbagai pertempuran kepentingan pun terjadi saat industri korupsi akan ditumpas. Mereka yang bertarung pun merasa punya hak yang dilindungi oleh demokrasi.
 

Perlu landasan yang tegas untuk memberantas korups, yaitu akidah Islam. Dan perlu ketegasan sikap dan hukum menghadapinya. Perdana Menteri Cina ketika dilantik pada tahun 1998, Zhu Rongji berkata, “Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, satunya untuk saya jika saya korupsi”.
[www.globalmuslim.web.id]

0 komentar:

Posting Komentar

Tinggalkan pesan-pesan Anda untuk Kami


Baca Juga Situs JIhad dan informasi tambahan Republika Online.

I'dadun naas li tarhiibi qiyaamil khilafah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | free samples without surveys