Selasa, 30 November 2010

Sebarkan -------->> Jenderal David Richard: Perang Afghanistan untuk Halangi Daulah Khilafah

Jenderal David Richard: Perang Afghanistan untuk Halangi Daulah Khilafah
David Richard
Dalam wawancara dengan Surat kabar Sunday Telegraph Inggris (14/11/2010) ketua Panel Pertahanan Inggris jenderal David Richard menegaskan perang di Afganistan pada hakikatnya adalah perang terhadap islam. Ia mengumumkan bahwa militer barat akan bertahan di Afganistan untuk jangka waktu 30 tahun.
Jenderal Richard mengulang-ulang justifikasi basi dengan perkataannya “keamanan nasional Inggris dan sekutu kami -dalam penilaian saya- sedang dalam bahaya. Jenderal Richard pada tahun lalu telah mengulang-ulang klaim-klaim palsu yang sama, sebagai upaya untuk membenarkan pendudukan barat yang brutal namun gagal di Afganistan. Realita yang sebenarnya yang ditutup-tupi Barat , penjajahan disana karena Afghanistan merupakan negeri yang strategis dan kaya, disamping penduduknya menuntut untuk hidup di bawah pemerintahan islami.(mediaumat.com)

Inilah BUKTI KEKHAWATIRAN BERLEBIHAN KAFIR HARBY TERHADAP PENERAPAN SYARIAH DAN PENEGAKKAN KHILAFAH.
DENGAN DALIH PEMBERANTASAN TERORISME.
TAPI NYATANYA KRENA TAKUT KHILAFAH TEGAK..

 

Kamis, 25 November 2010

Berbagai Kebohongan dan Racun Obama Disebarkan di Tengah-tengah Mereka yang Telah Terjajah Oleh Pemikiran/Kultur Amerika

[Al Islam 532] Sungguh, mayoritas generasi umat Islam di seluruh penjuru negeri ini-yang ditunjukkan oleh berbagai pertemuan dan konsentrasi massa dari kalangan para ulama, dosen dan intelektual-menolak kunjungan Obama. Mereka melakukan berbagai pertemuan dan konsentrasi massa aksi protes di berbagai kota, mulai dari timur hingga barat. Hanya sekelompok antek Amerika, terutama kepala negaranya, yang telah menyambut kunjungan Obama.  Stasiun-stasiun televisi di bawah penguasa dan yang berjalan di belakangnya menyiarkan berita kunjungan itu secara luas.  Pada saat yang sama, stasiun-stasiun televisi itu membisu, tidak menyiarkan berbagai pertemuan dan konsentrasi massa yang menolak kunjungan Obama. Mereka menutup-nutupi berita penolakan dan protes yang dilakukan oleh berbagai kelompok massa yang ikhlas dari mayoritas umat di Indonesia! Stasiun-stasiun televisi itu mengulang-ulang pidato Obama di hadapan mereka yang telah terjajah oleh pemikiran dan budaya Amerika, yang diselenggarakan di Universitas Indonesia pada tanggal 10 November 2010 lalu. Melalui antek-anteknya di media massa, Amerika mempromosikan di tengah-tengah masyarakat berbagai kebohongan dan racun yang disebarkan Obama itu.

Senin, 22 November 2010

Kewajiban Menegakkan KHILAFAH

  (Tafsir QS al-Baqarah [2]: 30)

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).


Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Wa idz qâla Rabbuka li al-malâikah (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat). Huruf idz merupakan zharf az-zamân (kata keterangan) untuk menunjukkan waktu lampau.[1] Dalam konteks kalimat ini, huruf tersebut menyimpan kata udzkur (ingatlah). Khithâb-nya ditujukan kepada Rasulullah saw. Ini terlihat pada dhamîr mukhâthab ka pada kata Rabbuka yang menunjuk kepada beliau. Karena itu, Ibnu Katsir, al-Wahidi dan beberapa mufassir lain memaknainya: Ingatlah, wahai Muhammad, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat.[2] Seruan kepada Rasulullah saw. berarti juga seruan kepada umatnya.

Perkara yang diperintahkan untuk diingat adalah kisah awal kejadian manusia. Sebelum menciptakan manusia, Allah Swt. terlebih dulu memberitakannya kepada para malaikat. Kata al-malâikah merupakan bentuk jamak dari kata al-malak.

Kepada para malaikat itu Allah Swt. berfirman: Innî jâ’il[un] fî al-ardhi khalîfah (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi). Kata jâ’il[un] bermakna khâliq[un].[3] Adapun al-ardh adalah seluruh bumi yang kini ditempati manusia. Di situlah Allah Swt. akan menjadikan khalîfah.

Kata khalîfah berasal dari kata khalîf (wazan fa‘îl). Tambahan huruf al-hâ’ berfungsi li al-mubâlaghah (untuk melebihkan).[4] Kata khalîfah berarti suatu pihak yang menggantikan lainnya, menempati kedudukannya, dan mewakili urusannya. Secara bahasa, seluruh mufassirin sepakat, yang dimaksud dengan khalîfah di sini adalah Adam as.[5] Namun, di antara mereka terdapat beberapa pendapat:
khalîfah bagi siapakah Adam itu?

Pertama: khalîfah bagi jin atau banû al-jân.[6] Alasannya, sebelum manusia diciptakan, penghuni bumi adalah banû al-jân. Namun, karena mereka banyak berbuat kerusakan, Allah Swt. kemudian mengutus para malaikat untuk mengusir dan menyingkirkan mereka. Setelah mereka berhasil disingkirkan sampai di pesisir dan gunung, Adam as. diciptakan untuk menggantikan kedudukan dan posisi mereka.

Kedua: khalîfah bagi malaikat. Demikian pendapat asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi.[7] Sebab, setelah berhasil menyingkirkan banû al-jân, malaikatlah yang tinggal di bumi. Karena itu, yang digantikan Adam as adalah malaikat, bukan jin atau banû al-jân.

Ketiga: disebut khalîfah karena mereka menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian lainnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir.[8] Pendapat ini didasarkan pada QS al-An‘am: 165, an-Naml: 62, az-Zukhruf: 6, dan Maryam 59.[9]

Keempat: menjadi khalîfah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan asy-Syanqithi.[10] Status ini bukan hanya disandang Adam as., namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia.[11] Menurut al-Qasimi, kesimpulan ini didasarkan pada QS Shad: 26.

Di antara keempat penafsiran itu, penafsiran keempat tampaknya lebih dapat diterima. Penafsiran ketiga, meskipun tak bertentangan dengan fakta kehidupan, respon malaikat menunjukkan, kedudukan khalifah tak sekadar itu. Menurut para malaikat, khalifah di muka bumi itu haruslah ahl al-thâ‘ah, bukan ahl al-ma‘shiyyah. Jika kedudukan sebagai khalifah hanya merupakan siklus kehidupan, generasi digantikan dengan generasi berikutnya, tentu tak mengharuskan khalifah dari kalangan ahl al-thâ‘ah.

Alasan yang sama juga dapat digunakan untuk menolak penafsiran pertama dan kedua jika peristiwa itu benar-benar terjadi. Sebagai catatan, penafsiran pertama dan kedua didasarkan pada hadis mawqûf yang tidak dapat menghasilkan keyakinan.
Dalam frasa berikutnya disebutkan: Qâlû ataj’alû fîhâ man yufsidu fîhâ wa yafsiku dimâ’ (Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan [khalifah] di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.”).

Kata fasâd berarti kerusakan. Kerusakan di bumi itu adalah kekufuran dan segala tindakan maksiat.[12] Adapun yang dimaksud dengan menumpahkan darah adalah pembunuhan yang dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan syariah. Sebenarnya, pembunuhan secara zalim itu termasuk dalam cakupan fasâd atau kerusakan. Disebutkannya secara khusus setelah ungkapan umum (athf al-khâsh ’alâ al-’âmm) itu menunjukkan besarnya maksiat dan kerusakan yang ditimbulkan akibat pembunuhan.

Dari manakah para malaikat mengetahui sifat-sifat buruk manusia itu, padahal manusia belum diciptakan? Pengetahuan itu berasal dari: pemberitahuan Allah Swt.; bisa pula dari al-lawh al-mahfûzh; berdasarkan analogi terhadap sifat banû al-jân yang sebelumnya menghuni bumi;[13] bisa juga dari pemahaman mereka terhadap tabiat basyariyyah, yang sebagiannya telah diceritakan Allah Swt.—bahwa mereka diciptakan dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk (QS al-Hijr: 26); atau
dari pemahaman mereka dari kedudukan khalifah yang bertugas menyelesaikan kezaliman yang terjadi di antara manusia dan mencegah manusia dari perkara haram dan dosa.[14]

Selanjutnya mereka juga berkata: wa nahnu nusabbihu bihamdika wanuqaddisu laka (padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?). Ber-tasbîh kepada Allah Swt. berarti mensucikan-Nya dan menjauhkan-Nya dari segala sesuatu yang buruk dalam kerangka ta‘zhîm.[15] Adapun men-taqdîs-kan Allah Swt. bermakna mensucikan-Nya dan menjauhkan segala sesuatu yang tidak pantas dari-Nya.[16]

Patut dicatat, para mufassir sepakat bahwa pertanyaan para malaikat itu bukan dimaksudkan untuk membantah kehendak Allah Swt. atau dilandasi sikap hasud terhadap Adam as. Sebab, mereka adalah hamba Allah yang mulia, taat, dan tidak pernah membangkang perintah-Nya (QS at-Tahrim: 6; al-Anbiya’: 26-27). Perkataan mereka semata-mata bertujuan untuk meminta kejelasan atau untuk mengungkap hikmah tersembunyi di balik penciptaan itu.[17]


Allah Swt. menjawab pertanyaan malaikat itu: Innî a’lamu mâ lâ ta’lamûn (Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui). Artinya, Allah lebih mengetahui kemaslahatan yang râjih pada penciptaan itu. Sesungguhnya Dia akan mengutus para rasul di tengah-tengah manusia. Di antara mereka juga ada orang-orang yang membenarkan (ash-shiddiqûn), syahid, shalih, ahli ibadah, zuhud, wali, berbuat kebajikan, al-muqarrabûn, ulama 
al-‘âmilûn, khusyuk, mencintai Allah, dan mengikuti rasul-rasul-Nya.[18]

Kewajiban Menegakkan Khilafah

Sebagaimana telah terungkap, kedudukan sebagai khalîfah mewajibkan manusia untuk memutuskan dan menerapkan perkara-perkara kehidupan dengan hukum-hukum Allah Swt.

Untuk keperluan itu, Allah telah mengutus para nabi dan rasul. Mereka semua diutus untuk menyampaikan kepada manusia risalah-Nya yang juga berisi hukum-hukum yang wajib diterapkan. Kendati dalam perkara akidah semua nabi dan rasul itu sama, yakni akidah tauhid, dalam perkara hukum mereka diberikan syir’ah dan minhâj yang berbeda-beda (QS al-Maidah [5]: 48). Masing-masing nabi dan rasul beserta umatnya wajib terikat dengan hukum yang berlaku buat mereka. Tatkala mereka menerapkan dan memutuskan hukum berdasarkan syariah-Nya, maka mereka telah melaksanakan tugasnya sebagai khalîfah.

Kepada Nabi Muhammad saw., Allah telah memberikan dîn Islam. Sebagai dîn paripurna, Islam memiliki syariah yang syâmil kâmil (komprehensif lagi sempurna) (lihat QS an-Nahl [16]: 86 dan al-Maidah [5]: 3). Tidak ada satu pun aspek kehidupan yang dibiarkan lepas begitu saja, tanpa diatur oleh Islam. Seluruh interaksi manusia, baik dengan Tuhannya, dirinya sendiri, maupun antar sesama manusia diatur oleh Islam.

Seluruh hukum Islam wajib diterapkan (QS al-Maidah: 49, al-Hasyr: 7). Hanya saja, di antara hukum-hukum syariah itu: Pertama, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada individu seperti akidah, ibadah, makanan, pakaian, dan akhlak. Beberapa hukum mu’âmalah pelaksanaannya juga dapat dilaksanakan individu tanpa harus melibatkan negara seperti perdagangan, ijârah, pernikahan, warisan, dan sebagainya). Kedua, ada yang pelaksanaannya dibebankan kepada negara semisal sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik luar negeri; juga berkaitan dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan sanksi yang diberikan atas setiap bentuk pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti tidak boleh dilakukan oleh individu. Semua hukum harus dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang olehnya.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang bersifat dharûrî (sangat penting) untuk melaksanakan Islam. Tanpa ada sebuah negara, mustahil syariah bisa diberlakukan secara total.

Patut ditegaskan, negara yang ditetapkan Islam untuk menerapkan syariah adalah Khilafah yang dipimpin oleh seorang khalifah. Rasulullah saw. bersabda:

تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ

Di tengah-tengah kalian terdapat masa kenabian yang berlangsung selama Allah menghendakinya. Lalu Dia mengangkat masa itu ketika berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Khilâfah ’alâ minhâj al-nubuwwah. (HR Ahmad).

Rasulullah saw. juga menetapkan, para khalifah adalah satu-satunya pihak yang bertugas mengatur dan mengurusi umatnya setelah Beliau wafat:


كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ

Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah (HR al-Bukhari dan Muslim).

Khalifah itulah yang diwajibkan untuk diangkat dengan jalan baiat. Dengan adanya khalifah, kewajiban adanya baiat di pundak setiap Muslim dapat diwujudkan. Sebaliknya, jika tidak ada khalifah, baiat yang diwajibkan itu tidak ada di pundak setiap kaum Muslim. Rasulullah saw. mencela keadaan tersebut dengan menyebut para pelakunya mati jahiliah. Beliau bersabda:

مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّة

Siapa saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat, maka matinya dalam keadaan jahiliah. (HR Muslim).

Bertolak dari pemikiran ini, tak mengherankan jika al-Qurthubi menyatakan, ayat ini menjadi asal atau pokok bagi wajibnya mengangkat imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, untuk menyatukan kalimat, dan menerapkan hukum-hukum khalifah.[19] Pendapat ini juga didukung az-Zuhaili.[20] Mereka menegaskan, seluruh ulama sepakat tentang wajibnya mengangkat khalifah di antara umat dan para imam. Menurutnya, hanya Abu Bakr al-Asham dari kalangan Muktazilah saja yang menyimpang dari pendapat tersebut.

Di samping ayat ini, kedua mufassir itu juga mendasarkan pada QS Shad: 26 dan QS an-Nur: 55. Para Sahabat juga berijmak untuk mengangkat Abu Bakar al-Shiddiq setelah perselisihan kaum Muhajirin adn Anshar di Saqifah Bani Saidah.[21]

Walhasil, Khilafah wajib ditegakkan. Setiap Muslim pun wajib turut berjuang
bahu-membahu menegakkan Khilafah yang menerapkan Islam dan menyebarkannya ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.]


Catatan kaki:

[1] 
As-Samin al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994), 174; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 220; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1 (Berut: Dar al-Fikr, 1991), 132

[2] 
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 90; al-Wahidi al-Naysaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 112; az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 132.

[3] 
Ini juga merupakan pendapat Hasan al-Basri. Sebagaimana dikutip al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 182; Ibnu ‘Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 116.

[4] 
Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 284; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113.

[5] 
Ibnu Juzy al-Kalbi, At-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 60; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, vol. 1, 49; al-Baghawi, Al-Ma’âlim at-Tanzîl, vol. 1, 31; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 132.

[6] 
Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 1, 237; al-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 138.

[7] 
Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 77; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2001), 33; al-Wahidi, Al-Wasîth, vol. 1, 113.

[8] 
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 90; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 284.

[9] 
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 90; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1, 284.

[10] Al-Baghawi, Al-Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 31; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2, 222; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 126; al-Ajili, Al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), 61; Ibnu Juzy al-Kalbi, Al-Tasyhîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, vol. 1, 60; al-Syanqithi, Adhwâ’ al-Bayân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 20

[11] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 2, 222; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl, vol. 1, 49.

[12] Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1 (tt: Nahr al-Khair, 1993), 40ز

[13] An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1, 33; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126; al-Ajili, al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1, 61; Said Hawa, al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1 (Kairo: Dar al-Salam, 1999), 116.

[14] Al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1, 285.

[15] Al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126.

[16] Al-Wahidi, al-Wasîth, vol. 1, 113; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 1, 40.

[17] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, ; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 2, 126; al-Ajili, Al-Futûhât al-Islâmiyyah, vol. 1, 61; al-Baidhawi, Anwâr al-Tanzîl, vol. 1, 50.

[18] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 1, 90; Said Hawa, Al-Asâs fî Tafsîr, vol. 1, 116.

[19] Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 
1993), 182.

[20] Al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 139.

[21] Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1, 183; al-Zuhaili, Al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 139.


Sabtu, 20 November 2010

Proyek APBN PLN Akan Dilelang Secara E-PROC

INILAH.COM, Jakarta - PT PLN (Persero) bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) meluncurkan e-Procurement Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE)-PLN. 
Peluncuran sistem ini akan dilakukan Direktur Utama PLN Dahlan Iskan dan Kepala LKPP Agus Rahardjo pada Senin (22/11). Dengan demikian, proses pengadaan barang/jasa yang dananya bersumber dari APBN dan dikelola PLN, mulai tahun 2011 akan dilaksanakan dengan memanfaatkan fasilitas teknologi informasi.Pada tahun 2011, PLN mengelola dana APBN sebesar Rp9 triliun untuk proyek listrik perdesaan dan pembangunan proyek-proyek kelistrikan lainnya. Sistem ini dikenal dengan nama e-Procurement LPSE-PLN. Penyedia barang/jasa yang berminat dapat mengikuti pelelangan melalui kantor PLN atau melalui internet dari kantor masing-masing. Dokumen kualifikasi, dokumen pengadaan dan dokumen lainnya dapat diunduh (download) melalui internet

Jubir Muslimah HTI: TKW Marak Bukti Kegagalan Kapitalisme

Jubir Muslimah HTI: TKW Marak Bukti Kegagalan Kapitalisme

Baru saja negeri ini digegerkan dengan penyiksaan Sumiati, tenaga kerja wanita (TKW) oleh majikannya di Saudi Arabia, muncullah berita bahwa Kikim Komalasari mati digorok majikannya yang juga di Arab Saudi. Lantas muncullah fitnah bahwa perlakuan biadab terhadap TKW itu merupakan cerminan syariah Islam, hanya lantaran di jazirah Arab Islam bermula. Lantas bagaimana pandangan Islam terkait hal ini? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo dengan Jurubicara Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadzah Iffah Rochmah. Berikut petikannya.

Komentar Anda terkait penyiksaan Sumiati dan pembunuhan Kikim Komalasari di Arab Saudi?



Sungguh ini adalah tragedi kemanusiaan yang berulangkali terjadi pada perempuan yang bekerja jauh dari keluarga dan walinya. Bahkan disebut-sebut hampir sekitar 4.000 perempuan seperti Sumiati telah menjadi korban penipuan, pemerasan, pelecehan, kekerasan hingga pembunuhan sepanjang tahun 2009- 2010.



Sumiati disiksa di berbagai bagian tubuhnya, kakinya nyaris lumpuh dan kemungkinan besar bibirnya digunting oleh majikannya. Lebih sadis apa yang menimpa Kikim. Setelah dianiaya dan diperkosa, lehernya digorok hingga meninggal dan jasadnya dibuang ke tong sampah.

Demi Allah pelakunya adalah orang yang sangat kejam dan penguasa mana pun yang membiarkan terjadinya kekejaman ini berarti telah menantang Allah dan Rasul-Nya, karena tidak memberikan jaminan dan perlindungan kepada perempuan sebagaimana seharusnya.

Ada yang menyatakan bahwa Arab Saudi mencerminkan syariah Islam. Dalam Islam pembantu rumah tangga seperti Sumiati dan Kikim termasuk budak jadi boleh diperlakukan demikian. Benarkah?

Kamis, 18 November 2010

KHILAFAH : SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM SOLUSI UNTUK DEMOKRASI YANG KUFUR DAN BERBAHAYA

Pendahuluan

Demokrasi, harus diakui merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak dianut di dunia. Sejak Perang Dunia II hampir seluruh negara di dunia mengadopsi sistem demokrasi. Riset UNESCO tahun 1949 menyimpulkan bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah, demokrasi diklaim sebagai sistem paling ideal dari semua sistem politik dan sosial yang ada. (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, hal. 50).
Namun demokrasi tetap patut dicurigai. Karena dalam Islam ada suatu keyakinan bahwa yang dianut orang banyak itu belum tentu benar, bahkan dapat menyesatkan. Firman Allah SWT (artinya) : "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS Al-Anaam : 116).
Menurut kami, demokrasi adalah sistem kufur yang berbahaya. Dikatakan sistem kufur, karena secara normatif bertentangan dengan Aqidah Islam. Dan dikatakan berbahaya, karena secara empiris terbukti menimbulkan banyak bahaya (dharar) bagi umat Islam.
Maka sistem demokrasi harus dihapuskan dari muka bumi dan diganti dengan sistem Khilafah yang lahir dari Aqidah Islam yang akan menghapuskan berbagai bahaya yang ditimbulkan oleh demokrasi. Inilah inti makalah kami.

Demokrasi Kufur dan Berbahaya

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang diklaim berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Umat Islam kadang terkecoh dengan klaim ini, seakan substansi demokrasi hanya kerakyatan (rakyat sebagai sumber kekuasaan). Padahal di samping itu, substansi demokrasi yang jauh lebih mendasar adalah ide kedaulatan di tangan rakyat (as-siyadah li al-syabi; sovereignty belongs to the people). (Al-Jawi, Must Islam Accept Democracy?, dalam David Bourchier & Vedi R. Hadiz, Indonesia Politics and Society : A Reader, hal.208).
Kedaulatan di tangan rakyat berarti hak membuat hukum ada di tangan manusia. Ini jelas bertentangan dengan Aqidah Islam yang menetapkan hanya Allah SWT saja yang berhak menetapkan hukum. Firman Allah SWT (artinya) : "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS Al-Anaam : 57).

Sedang ide kerakyatan, yang berarti rakyat sebagai sumber kekuasaan (mashdar al-sulthat, source of power), memang ada kemiripan dengan Islam meski tetap ada perbedaan yang mendasar. Kemiripannya terletak pada prinsip bahwa rakyatlah yang memilih pemimpinnya. Perbedaannya, dalam demokrasi, pemimpin yang dipilih rakyat akan menjalankan hukum buatan rakyat. Sedang dalam Islam, pemimpin yang dipilih rakyat akan menjalankan hukum Syariat, buatan hukum buatan rakyat.
Maka, jelaslah bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan kufur, yang haram untuk diadopsi, diterapkan, dan dipropagandakan oleh umat Islam (Abdul Qadim Zallum, Ad-Dimuqrathiyah Nizham Kufr, hal. 22). Dikatakan kufur bukan karena prinsip kerakyatannya, melainkan karena prinsip kedaulatannya yang diserahkan kepada rakyat.
Dalam Islam, kedaulatan bukan di tangan rakyat, melainkan di tangan syariat (as-Siyadah li al-Syabi; sovereignty belongs to the Sharia). Artinya, dalam Islam manusia tidak berhak membuat hukum sendiri, melainkan hanya menjalankan Syariah Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilafah, hal. 17).
Ketika kami menegaskan demokrasi sistem kufur, bukan berarti kami mengkafirkan orang-orang Islam yang terlibat dalam sistem demokrasi. Sebab kekufuran yang dimaksud adalah kekufuran sistem, yaitu kekufuran berbagai peraturan yang ada. Bukan kekufuran manusianya. Adapun kekufuran manusianya, hal itu bergantung pada keyakinan masing-masing yang jelas tidak dapat dipukul rata. Jika seorang muslim yang terlibat demokrasi meyakini bahwa hanya manusia yang berhak membuat hukum, sedang Allah SWT tidak berhak, maka jelas dia telah kafir (murtad), karena keyakinan itu bertentangan dengan nash qathi (pasti), yaitu ayat (artinya) : "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS Al-Anaam : 57). Namun jika ia masih berkeyakinan bahwa hanya Allah SWT yang berhak membuat hukum, sedang manusia tidak berhak, maka dia masih muslim, meski berdosa besar. (Hizbut Tahrir, Al-Hamlah Al-Amirikah lil Qadha` Ala Al-Islam, hal. 7).
Kekufuran sistem demokrasi inilah yang menjadi sumber segala kemunkaran dalam berbagai aspek kehidupan. Sebab kekufuran adalah kemunkaran yang terbesar, yang tidak ada lagi kemunkaran yang lebih besar lagi daripada itu. Maka dengan sendirinya, demokrasi secara pasti akan melahirkan berbagai bahaya (dharar), khususnya yang lahir dari ide kebebasan (al-hurriyat, liberalisme) yang menjadi prasyarat demokrasi.
Kebebasan itulah yang telah melahirkan 4 (empat) macam bahaya, mengikuti jenis-jenis kebebasan dalam demokrasi. Pertama, bahaya karena kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), misalnya pembiaran kemurtadan (Kristenisasi), pembiaran aliran sesat seperti Ahmadiyah, dan sebagainya. Kedua, bahaya karena kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi), seperti adanya kelompok liberal (JIL) dan sebagainya. Ketiga, bahaya karena kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk), yaitu adanya liberalisasi dalam bidang ekonomi, seperti privatisasi, pasar bebas, dan lain-lain. Keempat, bahaya karena kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syakhsiyyah), seperti pembiaran zina (pasal 284 KUHP), pembiaran internet tanpa regulasi yang menjadi sarana pornografi, merebaknya video porno, dan sebagainya.
Berbagai bahaya akibat kebebasan demokrasi itu jelas wajib untuk dihilangkan. Dan caranya jelas bukan hanya dengan memerangi ide kebebasan itu, melainkan juga dengan menghapuskan sistem demokrasi yang menjadi akar dan sumber kebebasan.
Walhasil, menghapuskan demokrasi itu wajib hukumnya, untuk menghilangkan berbagai dharar (bahaya) yang muncul darinya. Kaidah fiqih menyebutkan : Adh-Dharar Yuzaalu Syaran (Segala bahaya wajib hukumnya secara syari untuk dihilangkan). (Moh. Kurdi Fadal, Kaidah-Kaidah Fikih, hal. 52).

Khilafah Solusi untuk Demokrasi

Kalau demokrasi sepakat kita hapuskan, lalu apa gantinya? Jelas, gantinya adalah Khilafah, yaitu sistem pemerintahan Islam yang misinya adalah menjalankan Syariah Islam secara kaffah (dalam segala aspek kehidupan) dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad fi sabilillah.
Khilafah atau Imamah, hukumnya wajib, dan kewajibannya merupakan perkara yang disepakati oleh seluruh ulama. Tak ada yang mengingkarinya, kecuali segelintir orang yang tiada teranggap pendapatnya. Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri menegaskan,"Telah sepakat para imam (Imam Malik, Abu Hanifah, Syafii, Ahmad) rahimahumullahbahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu" (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Al-Mazhahib Al-Arbaah, IV/416).
Khilafah mempunyai 4 (empat) prinsip (qawaid) yang khas yang membedakannya dengan sistem pemerintahan lainnya, seperti demokrasi dan monarki. Keempat prinsip itu sekaligus juga merupakan rukun pemerintahan Islam yang jika salah satunya tidak ada, berarti pemerintahan yang ada bukan lagi pemerintahan Islam. (Abdul Qadim Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 40).
Keempat prinsip tersebut adalah :
Pertama,kedaulatan di tangan Syariah, bukan di tangan rakyat. Artinya seluruh aspek kehidupan hanya diatur dengan Syariah Islam, sebagai wujud dari perintah dan larangan Allah. Ini beda dengan demokrasi, yang menyerahkan hak membuat hukum kepada manusia.
Kedua,kekuasaan di tangan umat. Artinya umatlah yang berhak memilih Khalifah yang akan memimpin mereka. Ini beda dengan monarki, yang menjadikan kekuasaan hanya milik keluarga tertentu.
Ketiga,kesatuan Khilafah, artinya di seluruh dunia hanya boleh ada satu Khalifah untuk seluruh umat Islam, tidak boleh lebih. Ini beda dengan konsep negara-bangsa dalam demokrasi yang memberikan hak kepada setiap bangsa untuk mendirikan negara sendiri.
Keempat,hak legislasi UU hanya di tangan Khalifah. Artinya dalam Khilafah hanya Khalifah sebagai kepala negara yang berhak memilih dan mengadopsi hukum syara untuk diberlakukan sebagai UU bagi publik. Ini beda dengan demokrasi yang memberikan hak legislasi kepada wakil rakyat (lembaga legislatif) untuk membuat hukum sendiri yang tidak bersumber dari wahyu. (Lihat Mahmud Abdul Majid al-Khalidi, Qawaid Nizham al-Hukm fi Al-Islam, Kuwait : Darul Buhuts Al-Ilmiyah, 1980).
Sistem Khilafah ini akan menghapuskan kebebasan (al-hurriyat) dalam demokrasi yang menjadi sumber kemunkaran.
Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian tidak adanya keterikatan dengan suatu aturan agama apa pun pada saat dilakukannya suatu perbuatan (adamu taqayyud bi syai`in inda al-qiyam bi al-amal). Yang ada dalam Islam justru adalah keterikatan pada hukum Allah (at-taqayyud bi al-hukm al-syari). Sebab setiap amal perbuatan muslim wajib terikat dengan hukum-hukum Allah dan tidak halal seorang muslim melakukan perbuatan, kecuali sesuai dengan hukum-hukum Allah. Sabda Nabi SAW (artinya),"Barangsiapa melakukan suatu perbuatan tidak sesuai dengan tuntunan kami, maka perbuatan itu tertolak." (HR Muslim). (Abdul Qadim Zallum, Kaifa Hudimat al-Khilafah, hal. 67).
Dengan demikian, Khilafah akan menghilangkan berbagai bahaya (dharar) yang ditimbulkan demokrasi, khususnya yang muncul dari ide kebebasan. Khilafah akan menghapuskan kebebasan beragama (hurriyah al-aqidah), sehingga tak ada lagi pembiaran kemurtadan (Kristenisasi), aliran sesat seperti Ahmadiyah, dan sebagainya. Khilafah akan menghapuskan kebebasan berpendapat (hurriyah al-ra`yi) yang meneyesatkan umat, sehingga akan hancur kelompok liberal (JIL) dan berbagai kelompok semisalnya. Khilafah akan mencegah kebebasan kepemilikan (hurriyah at-tamalluk) sehingga tak ada lagi liberalisasi dalam bidang ekonomi, seperti privatisasi, pasar bebas, dan lain-lain yang banyak merugikan umat. Khilafah pun akan menghapuskan kebebasan berperilaku (al-hurriyah al-syakhsiyyah), sehingga tak ada lagi pembiaran zina (KUHP akan dihapus), tak ada lagi pembiaran internet tanpa regulasi, akan dibasmi video porno, dan sebagainya.

Penutup

Demokrasi yang diterapkan di Indonesia dan di negeri-negeri Islam lainnya sesungguhnya adalah sistem kufur dan berbahaya.
Disebut sistem kufur, karena secara normatif amat bertentangan dengan Aqidah Islam yang menetapkan hak membuat hukum hanya di tangan Allah SWT, bukan di tangan manusia. Dan disebut berbahaya, karena secara empiris terbukti menimbulkan banyak bahaya (dharar) bagi umat Islam, khususnya karena ide kebebasan demokrasi.
Maka sistem demokrasi harus dihancurkan dan dihapuskan dari muka bumi dan diganti dengan sistem Khilafah. Inilah sistem pemerintahan Islam yang lahir dari Aqidah Islam yang akan menghilangkan berbagai bahaya akibat demokrasi. Caranya tiada lain adalah dengan menerapkan Syariah Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam segala aspek kehidupan. Wallahu alam [ ]

*Disampaikan dalam Seminar Rajab 1431 H / 2010 M dengan tema "Khilafah Solusi Untuk Indonesia dan Dunia", diselenggarakan oleh DPD I Hizbut Tahrir Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta, di Mandala Bhakti Wanitatama, Yogyakarta, Sabtu 10 Juli 2010.
 Oleh M. Shidiq Al Jawi

Selasa, 16 November 2010

Pendaki Jalan Sepi itu..

**Lelah Berjalan menapaki hari..
Melihat Kesulitan Pribadi Mengakaji diri..
Aku memang bukan pujangga perangkai Indahnya lantunan Perjalanan sepi.
Namun aku hanya Menuliskan segala Rintangan hati dengan tulisan diri.

Inilah Jalan sepi,
Perangai jutaan jejak kaki,
Kulihat sana,
Kulihat sini,
Tak ada yang peduli akan Kesulitan ini.

Adakah Jejak sejati ini diikuti Ridha Illahi..??
Adakah Orang Yang mau Menjual diri..?
Wahai Para Pejuang sejati.
HANYA KAU YANG PEDULI..
HANYA KAU YANG SIAP MENDAKI PERJALANAN SEPI.
WAHAI PEJUANG SEJATI..
Kini jejakmu memang Tak Berarti buat sebagian yang tak mengerti,
Lelah, Air mata, Keringat didahi,
Akan menjadi saksi pedihnya Perjuangan ini..
Namun kau tau wahai pejuang sejati..
Kaulah Penempat Surga Illahi..

***Secarcik semangat dari seorang dhoif pejuang jalan sepi...***

17 Nov' 2010

Kedudukan Hadits Ahad Dalam Permasalahan Aqidah

Soal : Ustadz yang terhormat. Saya mau nanya tentang hadits ahad. Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hadits ahad bisa digunakan dalam masalah aqidah dan ada pula yang mengatakan tidak bisa, karena tidak menghasilkan keyakinan. Bagaimana sikap para shahabat, dan para ulama tentang hal ini “

Jawaban : [Ust. Hafizd Abdurrahman]

Sesungguhnya orang-orang awam dari kaum muslimin dan ‘para tokoh Islam’ banyak yang tidak belajar tentang ilmu hadits, ilmu fiqih, ilmu tafsir, bahasa, dan lain-lain. Akibatnya kaum muslimin dan ‘para tokoh’ tadi tidak bisa membedakan antara hadits dhaif dan hadits shahih. Mereka juga tidak bisa membedakan antara hadits maudhu dengan hadits hasan. Mereka juga tidak bisa membedakan antara hadits mutawatir dan hadits ahad, serta sejauh mana berdalil dengan keduanya dalam masalah aqidah dan hukum.
Sikap yang lebih fatal adalah bahwa banyak dari kalangan kaum muslimin yang mempelajari khabar ahad tidak seperti yang dipahami ulama ushul, tetapi hanya dengan dogmatis yang salah, sementara ia hanya mau menerima apa yang diajarkan oleh para kiai dan murid-muridnya atau para pemimpin (dari kalangan haraqah Islam) tanpa pengetahuan yang mendalam dan pemahaman yang jernih. Akhirnya mereka meniru-niru ucapan kiai-kiai maupun pemimpin mereka bagaikan burung kakak tua kemudian menyebarkan kebusukan dan caci maki, serta mencap haraqah-haraqah Islam dengan kekafiran dan murtad dari agama Islam ! Lalu bagaimana pendapat dan sikap para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama terhadap khabar ahad sebagai sumber aqidah ?

Pendapat Dan Sikap Para Ulama Terhadap Khabar Ahad Dalam Masalah Aqidah
Kedudukan hadits ahad dikalangan ulama berbeda-beda, sebagian berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan keyakinan. Sebagian yang lain berpendapat bahwa khabar ahad bila didukung oleh qarinah-qarinah akan menghasilkan keyakinan, sedangkan yang lain berpendapat bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dzan dan tidak mengantarkan kepada keyakinan.[1] Inilah pendapat yang paling masyhur dan dipilih oleh jumhur ulama hadits, fiqih maupun ushul. Akan tetapi para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya mengamalkan hadits ahad.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dan jumhur ulama, kecuali Imam Ahmad, berpendapat bahwa hadits ahad tidak menghasilkan ilmu (keyakinan) sehingga tidak bisa sebagai sumber aqidah, senada dengan pendapat jumhur ulama, Imam Asnawy Al-BaghdadyImam An-NawawiIbnu ShalahImam BasdawlyImam ‘Abd Al-BarImam Al-Ghazali, dan lain-lain.[2] Al-Kasâlymenyatakan, “Jumhur fuqaha sepakat bahwa hadits ahad yang tsiqah bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah amal (hukum syara’) namun tidak dalam masalah aqidah (keyakinan).” [3]
Imam Al-Qarâfiy salah satu ulama tekemuka dari kalangan Malikiyyah berkata, “… alasannya mutawatir berfaedah kepada ilmu (keyakinan) sedangkan hadits ahad tidak berfaedah kecuali hanya dzan (dugaan) saja.[4]
Syaikh Jamaluddin Al-Qasâmiy berkata, “Jumhur kaum muslimin dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan ulama-ulama setelahnya baik dari kalangan fuqaha, muhadditsin serta ulama ushul sepakat bahwa khabar ahad yang tsiqah merupakan salah satu hujjah syar’iyyah, wajib diamalkan, dan hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja dan tidak menghasilkan ilmu (keyakinan), sehingga tidak bisa dijadikan sebagai sumber atau dalil dalam masalah aqidah.” [5]
Dr. Rifat Fauziy berkata, “Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau lebih akan tetapi belum mencapai tingkat mutawatir, sambung sampai Rasulullah SAW. Hadits semacam ini tidak menghasilkan aqidah (keyakinan), akan tetapi hanya menghasilkan dzan. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat bahwa beramal dengan hadits ahad merupakan kewajiban.” [6]

Penolakan Para Shahabat Terhadap Khabar Ahad Sebagai Sumber Aqidah
Para shahabat telah menolak khabar ahad sebagai sumber aqidah, hal ini tercermin dalam sikap para shahabat ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an yang merupakan salah satu pangkal aqidah, dengan mensyaratkan yaitu : mereka mensyaratkan jumlah tertentu yang dapat mengantarkan kepada kepastian, yakni tiga orang (Zaid bin Tsabit dan dua orang lain yang menyaksikan, kadang-kadang Umar ra menggantikan posisi Zaid ra. Berikut ini uraian tentang contoh-contoh penolakan para shahabat terhadap khabar ahad sebagai dalil aqidah :
Dari jalan Ibnu Sa”ad berkata, “Keduanya duduk dipintu masjid, dan tidaklah seorangpun yang membawa sesuatu dari Al-Qur’an yang disaksikan oleh dua orang yang mereka inginkan, kecuali akan menulisnya. Menurut Ibnu Abu Dawud dalam Mashanif dari Yahya bin ‘Abd Al-Rahman bin Hâtib berkata, Umar berkata, “Siapa saja yang menyimpan sesuatu (Al-Qur’an) dari Rasulullah, maka serahkanlah.” Dan Umar ra tidak menerima apapun dari seseorang sampai orang tersebut menghadirkan dua orang saksi. Ubaid bin Umair berkata, “Umar tidak menerima satu ayat dari kitabullah sampai ada dua orang saksi yang menyaksikan”.” Dalam Shahih Bukhari dan Ibnu Abu Dawud dan selain keduanya dari Zaid bin Tsabit berkata, “Ketika kami menulis mushaf, saya kehilangan sebuah ayat dari Khuzaimah bin Tsabit “Minal mukminin rijâlun”, sedangkan Khuzaimah memiliki dua orang saksi, Rasulullah SAW membolehkan persaksian dengan saksi dua orang.
Imam Al-Anbariy meriwayatkan dalam Mashanif dan Al-Hasan, Ibnu Sirin dan Zuhri dalam hadits panjang saat pengumpulan Al-Qur’an, disana disebutkan, “Abu Bakar ra memerintahkan seseorang untuk mengumumkan kepada masyarakat, siapa saja yang memiliki sesuatu dari Al-Qur’an agar mereka menyerahkannya. Hafshah salah seorang Ummul mukminin berkata, “Jika kalian sampai pada ayat ini, beritahulah aku !” ...Hafidzu ‘ala al-shalawat wa al-sahalaat al-wustha... Setelah sampai pada ayat tersebut, mereka menyampaikan kepada Hafshah ra, Hafshah berkata, “Tulislah ...Hafidzu wa al-shalat al-wustha wa al-shalat al-‘ashr... Umar ra bertanya, “Apakah kamu punya saksi ?“ Hafshah ra menjawab, “Tidak.” Umar ra berkata, “ Demi Allah, kami tidak akan memasukkan apa yang disaksikan oleh seorang perempuan sedang ia tidak punya saksi !
Imam Malik meriwayatkan dalam Al-Muwatha”, dan Ibnu Abu Dawud dalam Mashanif dari Ummul mukminin ‘Aisyah ra berkata, “Telah turun ayat tentang 10 kali (isapan) susuan yang mengharamkan (menjadikan mahram), kemudian kami hapus dengan 5 kali (isapan) susuan. Kemudian Rasulullah SAW meninggal, sedangkan beliau (‘Aisyah) menyatakan ia adalah Al-Qur’an.” Namun tak seorang shahabat yang memperhatikan riwayat ini dan merekapun tidak menulisnya di dalam mushaf Imam. Al-Mazâriy berkomentar atas khabar dari ‘Aisyah ra tersebut, “Tidak ada hujjah di dalamnya, karena riwayat ini tidak ditetapkan kecuali dengan jalan ahad, sedangkan Al-Qur’an tidak ditetapkan dengan riwayat ahad (harus muatawatir).
Ibnu Abu Dawud meriwayatkan dalam Mashanif, Al-Hâkim dan selain keduanya dari mushafnya Ubay bin Ka’ab pada ayat tentang kifarah (denda) budak disebutkan, “Fa shiyâm tsalâts ayâm mutatabi”aat fi kifârat al-yamîn.” (berpuasa tiga hari berturut-turut untuk kifarat al-yamîn). Riwayat ini juga tidak dicantumkan ke dalam mushaf Imam, sebab riwayat ini merupakan khabar ahad, sebagaimana contoh riwayat-riwayat sebelumnya.
Imam Ahmad, Al-Hâkim dari Katsir bin Shalat berkata, “Adalah Ibnu Al-‘Ash dan Zaid bin Tsabit sedang menulis mushaf, sampailah mereka kepada ayat ini, maka Zaid berkata, Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, As-Syaikh wa syaikhaat idza zanaya (kakek dan nenek jika berzina). Umar ra berkata, “Bukankah engkau tahu bahwa seorang kakek, jika tidak muhshan akan dijilid, sedangkan jika seorang pemuda berzina dan ia muhshan maka dirajam.” Dalam riwayat Muwatha’ Umar ra berkata dalam khutbahnya, “Seandainya bukan karena orang-orang mengatakan bahwa Umar bin Khathab telah menambah kitabullah, sungguh aku akan menulisnya (ayat rajam), sungguh kami telah membacanya. Akan tetapi riwayat ini tidak dimasukkan sebagai ayat Al-Qur’an karena merupakan khabar ahad, sedangkan Al-Qur’an tidak ditetapkan kecuali dengan riwayat yang mutawatir.
Berdasarkan ijma’ qath’iy dari para shahabat ra, untuk tidak mengambil khabar ahad dan dzanniy untuk menetapkan salah satu rukun dari rukun-rukun aqidah yakni Al-Qur’an yang membangun seluruh rukun aqidah Islamiyah, maka tidak ada tempat lagi bagi pendapat yang menyatakan kemungkinan membangun aqidah di atas keraguan (dzan) semisal khabar ahad. Ijma’ shahabat telah meluluhlantakkan pendapat dan propaganda yang menyatakan khabar ahad dapat untuk dijadikan sebagaidalil aqidah.
Siapa yang berpendapat bahwa khabar ahad membawa implikasi iman(keyakinan), sesungguhnya ia telah menuduh shahabat-shahabat Rasulullah SAW telah bersepakat mengurangi dan menambah kitabullah. Sebab para shahabat Rasulullah SAW tidak mencantumkan riwayat-riwayat ahad (yang diklaim sebagai Al-Qur’an) kedalam mushaf Imam yang wajib kita yakini keotentikannya. Pendapat diatas juga membawa implikasi bahwa para shahabat telah melakukan kesalahan dalam masalah ushuluddin, padahal mustahil bagi mereka bersepakat untuk melakukan kesalahan dan kesesatan. Sungguh, Al-Qur’an dan sunnah telah menjamin keadilan mereka.
Dengan demikian madzhab yang menerima dzan dan khabar ahaddalam aqidah adalah madzhab bathil dan asing, dan harus ditinggalkan karena pendapat ini telah bertentangan dengan jumhur kaum muslimin baik dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul. Mereka sepakat bahwa khabar ahad hanya menghasilkan dzan (dugaan) saja tidak menghasilkan keyakinan sehingga tidak bisa sebagai dalil aqidah.

Kesimpulan
Aqidah harus ditetapkan dengan dalil-dalil yang mutawatir, sebab kalau keimanan boleh ditetapkan dengan dalil-dalil yang dzan (hadits ahad) tentu hal ini bertentangan dengan ijma’ shahabat tatkala mengumpulkan Al-Qur’an dan mushaf Imam dan juga pendapat jumhur kaum muslimin baik dari kalangan shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul. Dengan mengatakan khabar ahad wajib menjadi dalil aqidah sama artinya meyakini Al-Qur’an (mushaf Utsmani) tidak lengkap karena banyak riwayat ahad diklaim Al-Qur’an namun riwayat-riwayat tersebut oleh para shahabat tidak dicantumkan ke dalam Al-Qur’an (mushaf Imam). Beranikah anda mengklaim bahwa para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta ulama-ulama setelah mereka baik dari kalangan muhaditsin, fuqaha serta ulama ushul telah sesat karena tidak mengambil khabar ahad sebagai dalil aqidah ?
Imam Ahmad menyatakan, “Tanda yang menunjukkan dangkalnya ilmu seseorang ialah bertaqlid kepada orang lain dalam masalah aqidah.[7]
Sebagai penutup tulisan ini renungkanlah hadits Rasulullah SAW yang menyatakan :
Jika seorang laki-laki berkata kepada saudaranya : Wahai kafir !” Kemudian dibalas oleh yang lain, maka kafirlah keduanya.” [HR. BukhariImam Ahmaddan Ibnu Hanabal]
Wallahu a’lam bish shawab.


[1] Hafidz Tsana Al-Allah Al-Zaahidy, Taujih Al-Qaariy ila Al-Qawaa’id Al-Ushuuliyyah wa Al-Haditsiyyah wa Al-Isnaadiyyah fi Fath Al-Baariy, hal 156.
[2] Lihat Mahmud Syaltut, Aqidah wa Syari’ah, bab Aqidah.
[3] Al-Kasaaly, Badaai As-Shanaai, juz 1, hal 20.
[4] Al-Qasaamiy, Qawaa’id At-Tahdits, hal 137-138.
[5] Al-Qasaamiy, Qawaa’id At-Tahdits, hal 137-138.
[6] Dr. Rifat Fauziy, Al-Madkhal ila Tautsiiq AS-Sunnah, ed 1, th 1978.
[7] Imam Ibnu Jauzi, Talbis Iblis, hal 82.


Baca Juga Situs JIhad dan informasi tambahan Republika Online.

I'dadun naas li tarhiibi qiyaamil khilafah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | free samples without surveys