Senin, 25 Oktober 2010

HUKUM SYARA’ ATAS MUSHAFAHAH (Berjabat Tangan)

Soal : Saya ingin menanyakan apakah boleh berjabat tangan dengan lawan jenis, mohon penjelasan yang detail berikut pendapat-pendapat yang muncul dan tarjihnya.

Jawaban : [Ust. Ramadhan]
Pembahasan hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram memerlukan kajian yang kritis dan mendalam sebelum menyimpulkan, karena terdapat cukup banyak dalil-dalil syara yang digunakan untuk membahas permasalahan ini. Akibatnya para ulama yang membahas masalah ini berbeda pendapat tentang hukumnya. Ada yang mengharamkannya dan ada pula yang mengatakan bahwa hukumnya mubah (boleh).

PENDAPAT YANG MENGHARAMKAN

Dalil-dalil yang dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Beberapa riwayat dari ‘Aisyah ra yaitu :

Telah berkata ‘Aisyah, “Tidak pernah sekali-kali Rasulullah SAW menyentuh tangan seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Telah berkata ‘Aisyah, “Tidak! Demi Allah, tidak pernah sekali-kali tangan Rasulullah SAW menyentuh tangan wanita (asing), hanya ia ambil bai’at mereka dengan perkataan.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Menurut mereka Hadits-hadits di atas dan serupa dengannya merupakan dalil yang nyata bahwa Rasulullah SAW tidak berjabat tangan dengan wanita bukan mahram (asing). Karena itu maka hukum berjabat tangan antara lawan jenis yang bukan mahram adalah haram.

2. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan “menyentuh wanita” serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi :

“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR.Ath-Thabrani]

Atau hadits yang berbunyi :

“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”

3. Di dasarkan pada sabda Rasulullah SAW yakni :

“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i]

PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN

Dasarnya adalah riwayat yang menunjukkan bahwa tangan Rasulullah SAW bersentuhan (memegang) tangan wanita.

1. Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah ra yang berkata :

“Kami telah membai’at Rasulullah SAW, lalu Beliau membacakan kepadaku “Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu”, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangisi mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata : “Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya” dan ternyata Rasulullah SAW tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” [HR. Bukhari]

bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulullah SAW. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas ‘baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)’ bahwa Rasulullah SAW telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at.[1] Penjelasan ini juga sekaligus membantah yang mengatakan : “Yang dimaksud dengan genggaman tangan dalam hadits tersebut adalah “penerimaan yang terlambat”.” Seperti yang dikemukakan golongan yang mengharamkan jabat tangan.[2] Sebab kata ‘genggam tangan’ dalam hadits tersebut tidak memiliki arti selain ‘berjabat tangan’. Dan tidak bisa dipahami/diterima dari segi bahasa kalau diartikan ‘penerimaan yang terlambat’. Kata qa ba dha juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar ra dari Ibnu Juraij yang menceritakan, bahwa ‘Aisyah ra berkata, “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulullah SAW masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau :

“Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung.” Beliau kemudian bersabda : “Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badanya kecuali wajahnya dan selain ini ‘digenggamnya pergelangan tangannya sendiri’ dan dibiarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. Ath-Thabari dari ‘Aisyah ra]

Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyyah ra ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram.

1. Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra yang berkata :

“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi SAW. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, “Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.” Dari belakang tabir wanita itu menjawab : “Ini tangan seorang wanita.” Nabi bersabda, “Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)”.” [HR. Abu Dawud]

2. dalil lain yang membuktikan bahwa hukum mushafahah adalah mubah adalah dari firman Allah SWT :

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء

“…atau kamu telah menyentuh wanita…” (QS. An-Nisaâ’ [4] : 43)

Ayat ini merupakan perintah bagi seorang laki-laki untuk mengambil air wudlu kembali jika ia menyentuh wanita. Wanita yang ditunjuk oleh ayat itu bersifat umum, mencakup seluruh wanita, baik mahram maupun bukan. Dengan kata lain, bersentuhan tangan dengan wanita bisa menyebabkan batalnya wudlu, namun bukan perbuatan yang diharamkan. Sebab, ayat tersebut sebatas menjelaskan batalnya wudlu karena menyentuh wanita, bukan pengharaman menyentuh wanita. Oleh karena itu, menyentuh tangan wanita ‘tanpa diiringi dengan syahwat’ bukanlah sesuatu yang diharamkan, alias mubah. Walhasil berdasarkan mafhum isyarah dalam ayat tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa hukum mushafahah adalah mubah.

3. Adanya riwayat-riwayat lain yang membolehkan mushafahah adalah sebagai berikut :

Imam Ar-Razi [3] menuturkan sebuah riwayat bahwa Umar ra telah berjabat tangan dengan para wanita dalam bai’at, sebagai pengganti dari Rasulullah SAW.

Diriwayatkan oleh Imam Ath-Thabarani bahwa Umar bin Khaththab ra berjabat tangan dengan para wanita sebagai pengganti dari Rasulullah SAW.

tempatnya lebih rendah. Lalu, Rasulullah SAW membai’at para wanita itu dengan bertabirkan sebuah kain, sedangkan Umar bin Khaththab ra berjabat tangan dengan wanita-wanita itu.

Riwayat-riwayat ini merupakan dalil kebolehan mushafahah. Sebab, ada taqrir dari Rasulullah SAW terhadap perbuatan Umar bin Khaththab ra. Taqrir dari Rasulullah SAW merupakan hujjah yang sangat kuat atas bolehnya melakukan mushafahah. Seandainya mushafahah dengan wanita asing (ajnabiyyah) adalah perbuatan haram, tentunya Rasulullah SAW tidak akan mewakilkan kepada Umar bin Khaththab ra, dan beliau SAW pasti akan melarangnya.
SIKAP KITA DALAM MENGHADAPI PERBEDAAN TERSEBUT

Dalam menghadpi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadits-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Dalam mensikapi hadits-hadits yang dzahirnya seolah-olah bertentangan, menurut ilmu hadits dan ushul fiqh harus ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :

1. Thariqatul jam’i, yakni menggabungkan dan mengkompromikan dalil-dalil yang ada. Apabila langkah ini tidak bisa dilakukan baru menempuh.

2. Nasikh dan Mansukh, apabila tidak bisa dilakukan, ditempuh.

3. Tarjih, yakni dengan cara meneliti dan membandingkan mana dalil yang lebih kuat. Dalam hal ini harus dilakukan secara cermat dan teliti serta harus memperhatikan kaidah-kaidah tarjih yang telah digariskan oleh para ulama. Kalau langkah ini sulit dilakukan karena sama-sama kuat atau masih kabur baru menempuh langkah terakhir.

4. Tawaqquf, yaitu menghentikan kajian dalam menggali hukumnya. Namun terus berusaha sampai Allah SWT membukakan persoalan tersebut untuk diketahui.[1]
PENDAPAT YANG RAJIH (KUAT)

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut :

1. Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan mahram adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat Ummu ‘Athiyyah ra Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama :

“Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”

Dari hadits-hadits di atas, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyyah ra lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulullah SAW yang berjabat tangan dengan wanita bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan Ummu ‘Athiyyah ra sendiri berjabat tangan dengan Rasulullah SAW seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah ra) bergaul dengan Rasulullah SAW, beliau tidak pernah melihat Rasulullah SAW berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Jadi secara tidak langsung ‘Aisyah ra menceritakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.

mahram. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulullah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah ra, bahkan kehidupan Rasulullah SAW bersama ‘Aisyah ra lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah SAW di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah ra). Sehingga kalau ‘Aisyah ra tidak pernah melihat Rasulullah SAW berjabat tangan dengan wanita bukan mahram, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (Ummu ‘Athiyyah ra) Rasulullah SAW berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Oleh krena itu hadits riwayat Ummu ‘Athiyyah ra lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

3. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi :

“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Ath-Thabarani]

Atau hadits yang berbunyi :

“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”

Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata massa yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadz musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata lamasa yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menjelaskan menyentuh dengan tangan sering menggunakan kata lamasa. Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah SWT :

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء

“…atau kamu telah menyentuh wanita…” (QS. An-Nisaâ’ [4] : 43)

Juga firman Allah SWT :

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء

“… atau kamu telah menyentuh wanita…” (QS. Al-Mâ’idah [5] : 6)

وَلَوْ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ كِتَابًا فِي قِرْطَاسٍ فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ

“Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri…” (QS. Al-An’âm [6] : 7)

Arti kata lamasa menurut bahasa Arab sendiri adalah ‘menyentuh dengan tangan’. Fairuz Abadi [1] mengatakan arti lamasa adalah al jassu bil yadi (menyentuh dengan tangan).

Dalam kedua ayat pertama, kalimatnya berbentuk umum untuk seluruh kaum wanita, yaitu bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu dan hal ini menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada batalnya wudhu karena menyentuh wanita.[2] Sedangkan dalam ayat ketiga memperjelas bahwa yang dimaksud menyentuh adalah memegang dengan tangan.

Di dalam hadits-hadits pun terdapat kata lamasa yang artinya menyentuh dengan tangan. Diriwayatkan bahwa telah berkata Ibnu ‘Abbas :

“Tatkala Ma”iz bin Malik datang kepada Nabi SAW (mengaku berzina), bersabdalah Rasulullah SAW : “Barangkali engkau hanya mencium atau menyentuh atau melihat saja“ Jawab dia, “Tidak ! Ya Rasulullah.” Berkata (Ibnu “Abbas), “Maka sesudah itu beliau memerintahkan agar dia itu dirajam”.” [HR. Al-Ismailiy] [3]

Juga diriwayatkan :

“Dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW melarang jual-beli dengan cara mulamasah dan munabadzah.” [HR. Bukhari dan Muslim].

Jual beli secara mulamasah yaitu jika seorang pembeli berkata, “Apabila engkau menyentuh kainku dan aku menyentuh kainmu, maka terjadilah jual-beli.” [1]

4. Kata massa merupakan lafadz musytarak, sehingga dalam sebuah ayat dan beberapa riwayat berarti ‘menyentuh dengan tangan’. Yakni di dalam firman Allah SWT :

لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (QS. Al-Wâqi’ah [56] : 79)

Juga dalam riwayat :

“Dan dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya, dari datuknya, bahwa Nabi SAW pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman, yang (di dalamnya) : “Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an melainkan orang yang suci”.” [HR. Al-Atsram dan Ad-Daraquthni]. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa.

Tetapi, hadits-hadits yang digunakan sebagai dalil oleh golongan yang mengharamkan ‘menyentuh wanita’ menggunakan kata massa yang lebih tepat diartikan ‘bersetubuh’ bukan ‘menyentuh dengan tangan’. Kata-kata massa dengan arti ‘bersetubuh’ lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Misalnya firman Allah SWT :

لاَّ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِن طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ مَالَمْ تَمَسُّوهُنَّ

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka…” (QS. Al-Baqarah [2] : 236)

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu sentuh (setubuh) mereka, padahal…” (QS. Al-Baqarah [2] : 237)

Juga firmanNya :

قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا

“Maryam berkata : “Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina”.” (QS. Maryam [19] : 20)

ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ

“…kemudian kamu ceraikan mereka sebelum sentuh (bersetubuh) mereka…” (QS. Al-Ahzab [33] : 49)

Dan masih banyak ayat lain yang menggunakan kata massa untuk makna ‘bersetubuh’ bukan arti menyentuh secara bahasa. Juga di dalam beberapa hadits menunjukkan bahwa kata massa memiliki arti ‘bersetubuh’. Rasulullah SAW bersabda :

“Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi.” [HR. Muslim]

5. Walaupun kata massa dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan mahram, ini lebih tepat jika diartikan dengan ‘bersetubuh’. Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyyah ra dimana tangan Rasulullah SAW yang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan mahram. Juga riwayat lain yang menjelaskan dimana Rasulullah SAW pernah memegang tangan wanita seperti diriwayatkan dari ‘Aisyah ra yang berkata :

“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi SAW. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, “Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.” Dari belakang tabir wanita itu menjawab. “Ini tangan seorang wanita.” Nabi bersabda, “Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan pacar)”.” [HR. Abu Dawud].

SAW tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulullah SAW memerintahkan Umar bin Khaththab ra melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya.

Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) antar lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah Islamiyyah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama”ah haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan mahram.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa dimaksud dengan kata ‘menyentuh’ pada hadits-hadits yang digunakan oleh pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram adalah ‘bersetubuh’ bukan menyentuh secara bahasa (berjabat tangan).

6. Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan mahram juga di dasarkan pada sabda Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, At-Tirmidzi dan An-Nasa”i]

Hadits di atas serta hadits-hadits lain yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Pendapat ini adalah lemah, karena ada sebuah kaidah ushul fiqh yang mengatakan :

Inna ‘adam fi’l al-rasûl lisyain laisa dalîl syar’iyan (Sebenarnya perbuatan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW bukanlah dalil Syara’)

Sedangkan yang bisa dijadikan dalil Syara’ adalah perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Oleh karena itu, perkataan Rasulullah SAW, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” Tidak bisa dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan (mushafahah). Akan tetapi, hadits itu harus dipahami bahwa Rasulullah SAW ada kalanya menjauhi dan tidak pernah mengerjakan sama sekali perbuatan-perbuatan yang berhukum mubah. Misalnya, Rasulullah SAW selalu menjauhi dan tidak pernah menyimpan dirham dan dinar di rumahnya. Rasulullah SAW juga menjauhi untuk memakan daging biawak. Padahal, perbuatan-perbuatan semacam ini bukanlah perbuatan yang dilarang bagi kaum muslim. Artinya, meskipun Rasulullah SAW tidak pernah mengerjakan perbuatan tersebut, akan tetapi beliau SAW tidak melarang umatnya untuk melakukan perbuatan tersebut.

Demikian juga dengan kasus mushafahah. Meskipun Rasulullah SAW tidak pernah melakukan mushafahah, bukan berarti mushafahah itu dilarang bagi kaum muslim. Sebagaimana bahwa menyimpan dirham dan dinar bukanlah perkara terlarang, meskipun Rasulullah SAW tidak pernah mengerjakannya. Walhasil, apa yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW tidak mesti dipahami bahwa perbuatan itu berhukum haram.

7. Adapun kritik yang dikemukakan oleh Ibnu Al-‘Arabi terhadap keshahihan riwayat-riwayat Umar bin Khaththab ra bisa ditangkis dari kenyataan bahwa hadits-hadits yang bertutur tentang mushafahahnya Umar bin Khaththab ra dicantumkan di dalam kitab Fâth Al-Bârî karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, juz 8, hal. 636, dan beliau tidak berkomentar terhadap riwayat ini. Ini menunjukkan bahwa Ibnu Hajar telah mengakui keshahihan riwayat ini. Al-Hafidz sendiri adalah seorang muhadits yang sangat termasyhur dan kitabnya Fâth Al-Bârî, diakui sebagai kitab syarah terbaik dan karya ilmiah yang dijadikan rujukan para ‘ulama fiqh dan hadits. Atas dasar itu, riwayat-riwayat yang menuturkan mushafahahnya Umar bin Khaththab dengan kaum wanita bisa digunakan hujjah secara pasti.

dikatakan oleh ‘Aisyah adalah merupakan hujjah (bantahan) terhadap apa-apa yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah mengenai Rasulullah SAW memanjangkan tangannya untuk berjabat tangan dengan para wanita.

Memang sebagian ulama memasukkan hadits mursal ke dalam hadits yang mardud (tertolak). Ulama-ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syafi’i dan beberapa ulama lainnya. Akan tetapi, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Malik menjadikan hadits mursal sebagai hujjah.

Hadits Ummu ‘Athiyyah adalah hadits marfu’ (sambung) hingga Nabi SAW. Perawi hadits tersebut adalah Musaddad, yang menurut Imam Ibnu Hanbal ia adalah shaduq (orang yang sangat terpercaya). Menurut Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat tsiqat (lebih dari sekedar terpercaya).

Perawi berikutnya adalah Abdu Al-Wârits. Menurut An-Nasâ’i ia adalah tsiqat (terpercaya); menurut Abu Zur’ah Ar-Razi, ia adalah tsiqat. Menurut Abu Hatim Ar-Razi ia adalah shaduq.

Sedangkan Ayyub, nama lengkapnya adalah Ayyub bin Tamimah Kisâniy, seorang tabi”in kecil (al-shughra min at-tâbi”în). Menurut An-Nasâ’i dan Yahya bin Mu’în, ia adalah tsiqat (terpercaya).

Perawi selanjutnya adalah Hafshah binti Sîrîn, namanya kunyahnya adalah Ummu Hudzail. Seorang tabi’in tengah (al-wasthiy min at-tâbi”în). Ibnu Hibban mencantumkannya di dalam Al-Tsiqat. Menurut Yahya bin Mu’în ia adalah tsiqat hujjah (terpercaya yang menjadi hujjah). Ia adalah salah seorang murid dan perawi dari Ummu ‘Athiyyah (shahabiyyah). Sedangkan, Ummu ‘Athiyyah adalah seorang shahabat wanita.

8.1. Berhujjah Dengan Hadits Mursal

Hadits mursal adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang tabi’iy namun tidak menyebutkan shahabatnya. Dengan kata lain, hadits mursal adalah perkataan seorang tabi’iy (baik tabi’iy besar maupun kecil), maupun perkataan shahabat kecil yang menuturkan apa yang dikatakan atau dikerjakan oleh Rasulullah SAW tanpa menerangkan dari shahabat mana berita tersebut didapatkannya. Misalnya, seorang tabi’iy atau shahabat kecil berkata, “Rasulullah SAW bersabda demikian“, atau “Rasulullah SAW mengerjakan demikian”, atau “Seorang shahabat mengerjakan di hadapan Rasulullah SAW begini”“

Sebagian ulama menjadikan hadits mursal sebagai hujjah. Ulama yang berpendapat bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad. Sedangkan Imam Syafi’i dan ulama-ulama yang lain menolak berhujjah dengan hadits mursal. Akan tetapi, Imam Syafi’i tidak menolak secara muthlak hadits mursal. Imam Syafi’i berpendapat, bahwa hadits mursal bisa dijadikan sebagai hujjah asalkan memenuhi syarat : (1) hadits mursal dari Ibnu Al-Musayyab. Sebab, pada umumnya ia tidak meriwayatkan hadits kecuali dari Abu Hurairah ra. (2) Hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits musnad, baik dha’if maupun shahih. (3) Hadits mursal yang dikuatkan oleh qiyas; (4) hadits mursal yang dikuatkan oleh hadits mursal yang lain.[1] Jika kita mengikuti pendapat Imam Syafi’i ini, maka hadits Ummu ‘Athiyyah layak digunakan sebagai hujjah, sebab banyak hadits-hadits shahih yang senada dengan hadits Ummu ‘Athiyyah.

Kami menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa hadits mursal bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, perawi yang dihilangkan adalah para shahabat yang seluruh ulama telah sepakat bahwa seluruh shahabat adalah adil. Benar, status hadits yang perawinya tidak diketahui, maka ke-tsiqahannya tidak diketahui alias majhul. Padahal, riwayat yang bisa digunakan hujjah adalah riwayat yang perawinya tsiqah dan yakin, alias tidak majhul. Tidak ada hujjah bagi perawi yang majhul. Ini adalah alasan mereka yang menolak hadits mursal sebagai hujjah.

sebagai seorang shahabat maka haditsnya bisa diterima dipakai sebagai hujjah. Kita semua telah memahami, bahwa seluruh shahabat adalah adil. Oleh karena itu, “illat yang digunakan untuk menolak hadits mursal, sesungguhnya tidak ada di dalam hadits mursal. Sebab, ketidakjelasan jati diri shahabat tidak menafikan keadilan dan ketsiqahannya. Ini menunjukkan, bahwa hadits mursal tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Dihilangkannya seorang shahabat dari rangkaian sanad tidaklah menurunkan derajat hadits tersebut, selama diketahui bahwa ia adalah shahabat. Sebab, seluruh shahabat adalah adil, dan tidak perlu lagi diteliti ketsiqahannya.

Seandainya kita mengikuti komentar Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Imam An-Nawawi, mengenai kemursalan hadits Ummu ‘Athiyyah, hadits itu tetap bisa digunakan sebagai hujjah. Sebab, pendapat terkuat menyatakan, bahwa hadits mursal memang absah digunakan sebagai hujjah. Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulullah SAW dan Umar bin Khaththab ra pernah berjabat tangan dengan wanita.[1]
KHATIMAH

Dari tarjih kedua pendapat di atas menunjukkan bahwa pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram adalah lemah jika dibandingkan dengan pendapat yang membolehkannya. Karena hukumnya mubah maka dibolehkan bagi kaum muslimin untuk berjabat tangan dengan bukan mahram baik secara langsung ataupun dengan pembatas, juga dibolehkan untuk tidak berjabat tangan.

Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan mahram. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.

Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan mahram. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas oleh Allah SWT telah membolehkannya lewat perbuatan Rasul-Nya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, sebab Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. As-Sihab]

Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan. Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang mengharamkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya bagi mereka untuk berjabat tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun yang bukan mahramnya, baik bukan mahramnya tersebut anak kecil, remaja, dewasa ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka atau tidak suka. Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Catatan Kaki..:

[1] A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167.

[2] Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzhâm Ijtima”i fi Al-Islâm, hal. 57-58, 71-72.

[3] Muhammad Ismail, Berjabat Tangan Dengan Perempuan, hal. 34.

[4] At-Tafsir Al-Kabîr, juz 8, hal. 137.

[5] Al-Jâmi” Al-Ahkâm Al-Qurân, juz 18, hal. 71.

[6] Dr. Mahmud Thahan, Taisir Musthalah Hadits, hal. 58.

[7] Kamus Al-Muhith juz II, hal. 249.

[8] Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzhâm Ijtima”i fi Al-Islâm, hal. 58.

[9] Lihat A. Hassan, Soal-Jawab, hal. 53 – 55.

[10] Lihat kitab hadits Lu’lu wal Marjan, juz II, hal. 150.

[11] Syarh Shahih Muslim, jilid. 1, hal. 30.

[12] Fâth Al-Bârî, jilid. 8, hal. 636.

[13] Manhaj Dzawi An-Nadzar, hal. 48-53; Nudzat An-Nadzar, hal. 27.

[14] Imam Al-Qurthubi, Al-Jami” li Ahkâm Al-Qur’an; QS. Al-Mumtahanah [60] : 12

Minggu, 24 Oktober 2010

KEBEBASAN BEREKSPRESI Sumber Kebejatan Moral Masyarakat


Sebetulnya, banyak sekali film dan sinetron, juga acara-acara TV lain yang menyuarakan kebebasan berekspresi, yang sebagian besar dekat dengan pornografi dan pornoaksi. Contohnya adalah acara-acara seperti KDI, AFI, Indonesian Idol, berbagai sinetron dan film, sampai acara seperti Jakarta Underground, dll.  
Fenomena yang sama juga gampang kita temui di tengah masyarakat. Contohnya adalah  dandanan sebagian kaum perempuan yang semakin nyleneh dan berani, yang menonjolkan sebagian—bahkan sebagian besar—auatnya di tempat-tempat umum. Belum lagi fenomena pergaulan dan seks bebas yang semakin lepas kendali di berbagai level masyarakat, bukan hanya di perkotaan, tetapi juga sudah merambah ke pedesaan. Semua itu antara lain dipicu oleh tayangan-tayangan media massa yang ‘rajin’ membius masyarakat dengan berbagai adegan pornografi dan pornoaksi. 

Buah Demokrasi
Jika kita telusuri, semua fenomena bejat di atas jelas berakar pada satu hal, yakni kebebasan berekspresi, sebagai perilaku yang dijamin dalam demokrasi. Artinya, kebebasan berekspresi dianggap sebagai sesuatu yang legal, karena tidak ada demokrasi tanpa adanya kebebasan.
Oleh karena itu, seiring dengan semakin gencarnya seruan demokratisasi di berbagai bidang, atau semakin demokratis kehidupan suatu negara, maka dengan sendirinya kehidupan di dalam negara itu juga semakin bebas. Menurut Syaikh Abdul Qadim Zalum, dalam bukunya, Ad-Dîmukrathiyyah Nizhâm Kufr, paling tidak ada 4 (empat) kebebasan yang dijamin dalam demokrasi: (1) kebebasan beragama; (2) kebebasan berpendapat; (3) kebebasan berekspresi/berprilaku; (4) kebebasan kepemilikan. Keempatnya adalah hal yang lazim dijamin pelaksanaannya di berbagai negara yang menerapkan demokrasi, termasuk di Indonesia. Meskipun demokrasi di Indonesia belum seliberal di Eropa atau Amerika, yakinlah bahwa lambat laun, jika agenda demokratisasi terus digulirkan—terutama oleh pemerintah—maka kebebasan yang dijamin demokrasi itu akan semakin kebablasan; semakin liberal! Sebab, demokrasi akan selalu berbanding lurus dengan kebebasan. Semakin maraknya pornografi dan pornoaksi, terutama yang ditampilkan dalam berbagai acara televisi akhir-akhir ini, hanyalah salah satu contohnya, yakni salah satu contoh dari kebebasan berekspresi/berprilaku yang 'lumrah' dalam sistem demokrasi.
Kebebasan berekspresi secara pasti juga menimbulkan banyak implikasi sosial serius, di antaranya semakin meningkatnya kasus narkoba dan semakin banyaknya jumlah penderita AIDS. Dengan semakin kencangnya laju demokratisasi, perilaku bebas tidak akan semakin berkurang, namun sebaliknya,  akan semakin lepas kendali serta mendapat tempat dan legalisasi.
Saat ini ada semacam kecenderungan untuk mengembangkan opini, “Semua terserah masyarakat.” Kalau masyarakat sudah merasa resah, terganggu dan dirugikan karena suatu kasus, kemudian mengajukan tuntutan, baru akan diambil tindakan. Opini semacam ini sangat berbahaya dan merusak, setidaknya dapat dilihat dari beberapa sisi berikut:
Pertama, kita sepakat bahwa para penguasa/pejabat diangkat untuk menjaga masyarakat. Karena itu, mereka harus berpikir dan bersikap sebagai penjaga dan pengayom masyarakat. Mereka akan bersikap proaktif, preventif, dan menjauhkan segala hal yang bisa merusak masyarakat sekalipun hal itu menguntungkan sebagian orang. Dengan demikian, ungkapan di atas  lebih mencerminkan gaya pikir dan sikap pejabat yang mau enaknya sendiri, tidak mau susah, sembrono dengan nasib masyarakat, dan cenderung mengorbankan mereka. 
Kedua, opini di atas tidak mencegah masyarakat dari kerusakan. Sebab,  tindakan hanya akan diambil jika sudah mengganggu, merugikan, dan merusak masyarakat. Bahkan, yang lebih parah lagi, tindakan hanya akan diambil kalau ada tuntutan resmi dari masyarakat sendiri. Akibatnya, ketika diambil tindakan, sudah banyak anggota masyarakat yang menjadi korban; kerusakan masyarakat sudah terjadi di sana-sini.
Ketiga, baik-buruk, benar-salah, dan manfaat-madarat tidak boleh bergantung kepada penilaian masyarakat.  Semua itu harus dikembalikan kepada Zat yang Mahatahu, artinya dikembalikan kepada penilaian syariat islam.  Allah swt berfirman:
]كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ[
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.(QS. al-Baqarah [2]: 216)

Dengan demikian, sedari awal, segala hal yang buruk, berbahaya, dan memadaratkan masyarakat dapat dibuang jauh-jauh.  Ungkapan “semua terserah masyarakat” bisa dinilai sebagai pengingkaran dan pembangkangan terhadap Zat Yang Mahatahu, Allah SWT.
Keempat, Allah memperingatkan:
]وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي اْلأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللهِ[
Jika kamu menuruti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.  (QS al-An‘am [06]: 116).

Masyarakat bagaikan satu tubuh; setiap  anggota masyarakat adalah bagian dari anggota tubuh itu. Oleh karena itu, tindakan sebagian anggota masyarakat—dilihat dari segi manfaat dan madaratnya—tidak dipandang hanya menimpa sebagian orang itu melainkan menimpa masyarakat seluruhnya. Perilaku ‘semau gue’ alias bertindak bebas tanpa mau terikat dengan syariat bisa dinilai sebagai tindakan yang akan menghancurkan masyarakat.
Masyarakat kita adalah masyarakat manusia, bukan komunitas binatang.  Layaknya masyarakat manusia, segala interaksi yang ada di dalamnya haruslah mencerminkan ketinggian martabat kemanusiaannya. Keinggian martabat manusia sendiri terletak pada ketinggian akalnya yang dibimbing oleh wahyu, bukan pada hawa nafsunya yang dibimbing oleh setan. Karena itu, jika perilaku bebas dalam memenuhi dorongan perut dan naluri manusia—yang bersumber dari hawa nafsu yang dibimbing oleh setan itu—justru diberi tempat, sarana, dibiarkan, dilindungi bahkan dijamin oleh undang-undang, maka sepantasnya kita bertanya kepada diri kita sendiri: apakah kita memang menghendaki  masyarakat kita menjadi hina dan turun  derajatnya dari masyarakat manusia ke  derajat yang lebih rendah? Apakah kita rela dan siap kehilangan martabat kita sebagai masyarakat manusia?

Pandangan Islam
Ide kebebasan berekspresi (berperilaku) justru telah menjatuhkan martabat masyarakat pada derajat hewani yang sangat rendah. Kebebasan itu telah menyeret manusia ke kehidupan serba-boleh (permissiveness), yang bahkan tidak pernah dijumpai dalam pergaulan antarhewan sekalipun. Allah SWT berfirman:

]أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً * أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلاَّ كَاْلأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيلاً[
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya. (QS al-Furqan [25]: 43-44).

Ide kebebasan berekspresi telah menjatuhkan masyarakat Barat sampai pada derajat yang lebih rendah daripada binatang. Jika ide ini diserukan di tengah-tengah masyarakat kita, tidak mustahil masyarakat kita nantinya akan seperti masyarakat mereka. Tanda-tanda ke arah itu sudah banyak terlihat di tengah-tengah masyarakat kita. Meningkatnya penderita AIDS dan penyakit seksual, meningkatnya pengguna narkoba, banyaknya bayi lahir di luar nikah,  banyaknya kasus aborsi, maraknya prostitusi dan perselingkuhan, dan lain-lain; semua itu telah menjatuhkan martabat masyarakat kita sehingga tak ubahnya dengan masyarakat Barat.
Islam jelas mengharamkan ide kebebasan berekspresi. Islam mewajibkan semua aktivitas manusia terikat dengan syariat, karena hukum asal perbuatan adalah terikat dengan syariat. Karena itu, Islam telah menghadirkan aturan bagi semua aktivitas manusia. Hal itu bukan berarti bahwa Islam menghambat dan mengekang seseorang untuk berekpresi. Islam memberikan keleluasaan yang luas kepada setiap orang untuk berekspresi, berkreasi, dan berinovasi; tetapi tentu saja sesuai dengan batas-batas yang telah digariskan oleh Allah sebagai Penguasa manusia. 
Aturan Islam senantiasa menjunjung martabat luhur manusia. Oleh karena itu,  semua aktivitas yang menjatuhkan derajat manusia diharamkan oleh Islam. Islam memandang masyarakat sebagai satu kesatuan; bagaikan satu tubuh. Islam memandang bahwa manfaat dan madarat dari tindakan dan perilaku sebagian orang bukan hanya bagi sebagian orang itu, melainkan bagi masyarakat seluruhnya. Karena itu, Islam menjauhkan semua hal yang membahayakan masyarakat.
Berangkat dari dua pandangan ini maka Islam menghendaki semua ekpresi, kreativitas, dan inovasi dari setiap anggota masyarakat bersifat menjunjung martabat manusia dan tidak membahayakan masyarakat; yaitu ekpresi, kreativitas, dan inovasi yang produktif dan membangun, bukan yang hanya menurutkan hasrat hewani dan pelampiasan hawa nafsu dan syahwat.

Peran Masyarakat
Rasul mengibaratkan masyarakat seperti sekelompok orang naik kapal, jika ada yang berpikir picik melubangi bagian bawah kapal supaya mudah mengambil air, maka semua penumpang kapal harus mencegah orang tersebut. Kalau tidak, kapal itu akan tenggelam.  Begitu juga jika ada sebagian anggota masyarakat yang bertindak membahayakan dan merusak masyarakat, maka masyarakat harus bertindak mencegahnya. Kalau tidak, seluruh masyarakat akan binasa.
Rasulullah saw. bersabda:

«إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ الْعَامَةَ بِعَمَلِ الْخَاصَةِ حَتَّى يَرَوْا الْمُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرَانِيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُوْنَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوْهُ فَلاَ يُنْكِرُوْهُ فَإِذَا فَعَلُوْا ذَلِكَ عَذَّبَ اللهُ الْعَامَةَ وَالْخَاصَةَ»
Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa masyarakat umum karena perbuatan orang-orang tertentu hingga masyarakat umum melihat kemungkaran di hadapan mereka, sedangkan mereka mampu mengingkarinya, tetapi mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka berbuat demikian, Allah pasti akan menyiksa masyarakat umum dan orang-orang tertentu itu. (HR Ahmad dan Ath-Thabrani).

Oleh karena itu, masyarakat secara umum harus berusaha sekuat mungkin dan sungguh-sungguh untuk mencegah dan menghalangi perilaku bebas. Masyarakat harus meningkatkan intensitas amar makruf nahi mungkar, baik dalam hal kualitas ketegasan maupun kuantitasnya.
Tindakan fisik dengan kekuatan dan kekuasaan sesungguhnya sangat efektif untuk mencegah dan menghilangkan perilaku bebas. Penguasa sebagai pihak yang memegang kekuatan dan kekuasaan bertanggung jawab atas pelaksanaan aktivitas ini.  Masyarakat harus lebih tegas lagi menasihati, mendorong, dan menuntut penguasa agar menghilangkan perilaku bebas khususnya, dan segala bentuk kemungkaran umumnya, dengan kekuatan dan kekuasaan yang ada di tangannya.
Hal ini merupakan salah satu tanggungjawab negara dan pemerintah, yang akan dipertanggungjawabkan kelak pada Hari Kiamat.
«فَاْلأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ»
Seorang pemimpin (penguasa) adalah pemelihara; dia bertanggungjawab atas pemeliharaan mereka. (HR al-Bukhari).

Tersebarnya segala bentuk perilaku bebas akan menyebabkan kerusakan masyarakat. Ini jelas tidak boleh (haram) terjadi. Sebab, segala sarana yang mengantarkan pada suatu keharaman hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, pemerintah wajib mencegah, menghalangi, dan menghilangkan semua bentuk perilaku bebas di tengah masyarakat.  Jika tidak, pemerintah telah berdosa di hadapan Allah dan telah mengkhianati rakyat yang telah mempercayakan keselamatan masyarakat kepadanya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Apa bedanya jilbab dan kerudung?

Memang dalam pembicaraan sehari-hari umumnya masyarakat menganggap jilbab sama dengan kerudung. Anggapan ini kurang tepat. Jilbab tak sama dengan kerudung. Jilbab adalah busana bagian bawah (al-libas al-adna) berupa jubah, yaitu baju longgar terusan yang dipakai di atas baju rumahan (semisal daster). Sedang kerudung merupakan busana bagian atas (al-libas al-a'la) yaitu penutup kepala. (Rawwas Qal'ah Jie, Mu'jam Lughah Al-Fuqaha`, hal. 124 & 151; Ibrahim Anis dkk, Al-Mu'jam Al-Wasith, 2/279 & 529).


Jilbab dan kerudung merupakan kewajiban atas perempuan muslimah yang ditunjukkan oleh dua ayat Alquran yang berbeda. Kewajiban jilbab dasarnya surah Al-Ahzab ayat 59, sedang kewajiban kerudung (khimar) dasarnya adalah surah An-Nur ayat 31.

Mengenai jilbab, Allah SWT berfirman (artinya),"Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min,'Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.' (QS Al-Ahzab: 59). Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79), misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab. Imam Syaukani sendiri berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam cadar (al-qinaa'), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub alladzi yasturu jami'a badan al-mar`ah). Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi (14/243), dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan.

Walhasil, jilbab itu bukanlah kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung (mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan. Jilbab wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan), sebab hanya dengan cara inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) "mengulurkan jilbab-jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian tubuh, bukan seluruh tubuh. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima'i fil Islam, hal. 45-46).

Jilbab ini merupakan busana yang wajib dipakai dalam kehidupan umum, seperti di jalan atau pasar. Adapun dalam kehidupan khusus, seperti dalam rumah, jilbab tidaklah wajib. Yang wajib adalah perempuan itu menutup auratnya, yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, kecuali kepada suami atau para mahramnya (lihat QS An-Nur : 31).

Sedangkan kerudung, yang bahasa Arabnya adalah khimar, Allah SWT berfirman (artinya),"…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…" (QS An-Nur: 31). Dalam ayat ini, terdapat kata khumur, yang merupakan bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah kerudung, yaitu apa-apa yang dapat menutupi kepala (maa yughaththa bihi ar-ra`su). (Tafsir Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul 'Arabi, Ahkamul Qur`an, 6/65 ).

Kesimpulannya, jilbab bukanlah kerudung, melainkan baju jubah bagi perempuan yang wajib dipakai dalam kehidupan publik. Karena itu, anggapan bahwa jilbab sama dengan kerudung merupakan salah kaprah yang seharusnya diluruskan. Wallahu a'lam.

Kamis, 14 Oktober 2010

SEKULARISME TELAH GAGAL Kebangkitan Hanya Akan Terwujud dengan Menerapkan Hukum Allah Melalui Penegakkan Khilafah dan Penerapan Syariah

Sistem/rezim sekuler—yang memisahkan agama dari kehidupan—di Indonesia nyata-nyata telah gagal. Indonesia terpuruk hampir dalam semua lini kehidupan. Hingga saat ini, kemiskinan, kebodohan, ketidakamanan, kriminalitas, mahalnya pendidikan dan kesehatan, serta buruknya sarana transportasi masih menjadi problem yang menjerat Indonesia. Untuk memenuhi kebutuhan primer saja—seperti sandang, pangan, dan perumahan—kebanyakan rakyat Indonesia mengalami kesulitan, apalagi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder.

Lebih dari itu, Indonesia saat ini terperangkap dalam utang luar negeri yang sangat besar; Indonesia juga dikuasai oleh negara-negara Barat imperialis. Karena itu, negeri kita ini sebetulnya telah lama terjajah secara politik, ekonomi, pemikiran bahkan secara militer. Akibatnya, kita tidak bisa memiliki kekuasaan atas wilayah kita sendiri; kita tidak memiliki kemerdekaan dan kedaulatan sendiri; bahkan kita juga tidak bisa memperoleh sarana hidup yang layak meskipun dalam batas yang paling minimal. Jadi, relakah kita terus-menerus berada dalam kemiskinan, kehinaan, dan jauh dari Allah?


Ada sebagian kalangan yang mungkin berpendapat, bahwa keterpurukan dan kemiskinan kita bukanlah akibat sekularisme, karena negeri-negeri Barat yang juga notabene sekuler toh bukanlah negeri-negeri yang terkategori miskin dan terbelakang. Terhadap pendapat tersebut kami menjawab, bahwa keterpurukan dan kemiskinan kita adalah akibat sekularisme dan juga perilaku manusianya.

Dalam tataran praktis, jika kita membandingkan efesiensi dan efektivitas antara sistem Islam dan sistem/rezim sekuler, kita akan melihat beberapa kenyataan berikut:

1.      Adanya ketakwaan kepada Allah yang dimiliki oleh setiap pribadi Muslim yang hidup dalam sistem Islam. Dalam hal ini, ketika sistem yang bersumber dari akidah Islam diterapkan atas kaum Muslim, maka setiap individu Muslim akan mematuhi dan menaati, bahkan menjunjung tinggi sistem tersebut. Sebab, ia menyadari bahwa sikap demikian pada dasarnya adalah bagian dari sikap menaati Allah sekaligus merupakan bentuk penghambaan kepada-Nya, yang akan mendapatkan pahala yang besar dari sisi-Nya. Seorang Muslim tidak membutuhkan polisi yang mengawasi dirinya agar ia terikat dengan sistem Islam, karena ketakwaannya kepada Allah telah cukup menjadi faktor pendorong yang paling mendasar bagi dirinya untuk terikat dengan sistem tersebut.
Sebaliknya, ketika kita menerapkan sistem dan perundangan-undangan sekuler yang notabene kufur yang dibuat berdasarkan hawa nafsu dan syahwat manusia, maka seorang Muslim tidak akan merasa perlu menghormti dan menaati sistem dan perundang-undangan tersebut. Dia malah berusaha untuk melepaskan diri dari 'jeratan' perundangan-undangan tersebut sekaligus melanggarnya jika tidak ada polisi yang mengawasi dirinya. Bahkan, dalam sistem sekuler, polisi sendiri sering tidak berusaha menjalankan fungsinya sebagai penjaga undang-undang yang diberlakukan. Yang terjadi, tidak jarang polisi mudah disuap dan gampang berkompromi dengan para pelanggar undang-undang yang ada. Inilah yang terjadi dalam sistem sekuler dari mulai kepala negara hingga para pegawai di tingkat bawah.

2. Kuatnya pengaruh opini umum Islam. Dalam kondisi ketakwaan seorang Muslim kepada Allah lemah dan dia berniat melanggar hukum-hukum Allah, maka opini umum Islam di tengah-tengah masyarakat akan mencegahnya. Hal ini didasarkan pada kesadaran yang menghujam di tengah-tengah masyarakat Islam tentang kewajiban beramar makruf nahi mungkar yang mereka pahami dari ratusan nash al-Quran maupun as-Sunnah. Dalam sistem Islam, setiap Muslim—meskipun bukan termasuk pejabat atau pegawai negara—akan merasa bertanggung jawab untuk menjaga agar setiap orang terikat dengan syariat Islam yang diberlakukan negara. Tanggung jawab ini disadari sebagai kewajiban dari Allah, karena Rasulullah saw. telah bersabda:


«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيمَانِ»
Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu, dengan lisannya; jika tetap tidak mampu, dengan kalbunya. Itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR Muslim).

Karena itu, kuatnya pengaruh opini Islam di tengah-tengah masyarakat Islam akan mampu mencegah banyak orang untuk melakukan pelanggaran terhadap berbagai peraturan yang diterapkan negara.

3. Ketegasan polisi dan keadilan hukum Islam. Jika ketakwaan individu Muslim dalam keadaan lemah dan dia mampu menyembunyikan pelanggarannya terhadap hukum Islam dari penglihatan orang banyak, maka di sinilah fungsi seorang penguasa dalam sistem Islam, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Utsman bin Affan:


]إِنَّ اللهَ يَزَعُ بِالسُّلطَانِ مَا لاَ يَزَعُ بِاْلقُرْأَنِ[
Sesungguhnya Allah mencegah—melalui tangan penguasa—kemungkaran yang tidak bisa dicegah dengan al-Quran.

Dalam kondisi seperti ini, penguasa akan memberlakukan sanksi hukum ('uqûbât) atas setiap pelanggar hukum Islam sesuai dengan kadar pelanggarannya. Sanksi hukum dalam Islam berfungsi sebagai penebus dosa (jawâbir)—bagi pelaku pelanggaran—sekaligus pencegah (zawâjir)—bagi orang lain yang berniat melakukan pelanggaran. Hal semacam ini tidak akan menciptakan dendam-kesumat pada diri orang yang dikenai sanksi terhadap hakim atau penguasa. Sebab, pelanggar sudah tahu bahwa sanksi yang diberlakukan atas dirinya di dunia adalah ketetapan Allah; ia pun sadar bahwa sanksi atas dirinya di dunia akan menghapus dosanya di akhirat.

Dengan demikian, undang-undang Allah menciptakan keadilan, bukan kezaliman, dan penguasa dalam Islam adalah pelaksana hukum-hukum Allah, yang tidak akan berurusan dengan perasaan dendam dan kedengkian.

Selain hukum Islam, tidak ada hukum lain di dunia ini yang memiliki keseimbangan semacam ini, yakni ketakwaan inidividu dan pengaruh opini umum Islam di tengah-tengah masyarakat. Penerapan hukum dan perundang-undangan buatan manusia, sebagaimana perundang-undangan Barat sekuler, semata-mata berpijak pada faktor polisi dan ketegasan perundang-undangan yang diberlakukan. Sebab, sebagian besar masyarakat tidak memiliki rasa hormat dan ketaatan terhadap undang-undang yang diberlakukan; bahkan mereka akan selalu berusaha keras mencari celah manfaat/keuntungan bagi mereka sendiri dengan cara melakukan manipulasi terhadap perundang-undangan yang berlaku.

Dalam sistem sekuler saat ini, perilaku kaum Muslim mengalami kemunduran yang luar biasa. Mereka tidak lagi merasa sebagai para pengemban risalah Allah kepada seluruh manusia, padahal mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk seluruh manusia. Mereka seolah merasa, bahwa diri mereka adalah para pengikut setia kaum kafir imperialis, dan bahwa orang-orang kafir adalah penguasa, pemimpin, dan pemilik peradaban universal. Perilaku yang hina dan rendah ini telah menjadikan mereka rela hidup tak ubahnya sebagai budak.

Wahai kaum Muslim Indonesia, Anda sekalian saat ini sedang dihadapkan pada pemilihan kepala negara/presiden. Karena itu, tolaklah oleh Anda pemimpin yang menjadi pengekor sistem Barat sekuler; tolak juga sistem sekuler yang kufur ini. Berusahalah Anda sekalian untuk memilih pemimpin yang akan menegakkan Khilafah Islamiyah sekaligus menerapkan syariat Islam.
         Wahai kaum Muslim, Anda sekalian memiliki sistem aturan yang telah diturunkan Allah untuk Anda dan untuk semua manusia. Sebaliknya saat ini, sistem yang berlaku adalah dibuat oleh manusia yang didasarkan pada hawa nafsu dan syahwat serta akal mereka yang sangat terbatas. Jadi, bagaimana mungkin Anda meninggalkan hukum Islam—sebagai rahmat bagi seluruh alam—yang telah diturunkan Allah Yang Mahabijak dan Mahatahu, sementara pada saat yang sama Anda menderita di bawah perundangan-undangan yang rusak dan bobrok; yang nyata-nyata telah menimbulkan kehinaan, kemiskinan, dan berbabagi persoalan yang mendera Anda sekalian?
      
Allah SWT berfirman:
]أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْرٌ[
Apakah kalian mau mengambil sesuatu yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? (QS al-Baqrah [2]: 61).

        Apabila orang-orang sekuler yang sesat dan telah terpengaruh pemikiran Barat berkeinginan menerapkan sistem Barat, lalu apakah kita akan diam saja dan membiarkannya? Hendaklah ada menyimak kembali firman Allah SWT berikut:


]وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا[
Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin dan tidak pula bagi perempuan Mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. (QS al-Ahzab [33]: 36).

Allah SWT juga berfirman:


]إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ $ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ[
Sesungguhnya jawaban orang-orang Mukmin itu, jika mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) mereka, ialah ucapan, "Kami mendengar dan kami patuh." Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang menaati Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS an-Nur [21]:51-52.)

Allah SWT juga berfirman:


]وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ[
Bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS Ali Imran [3]: 133)


Baca Juga Situs JIhad dan informasi tambahan Republika Online.

I'dadun naas li tarhiibi qiyaamil khilafah

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | free samples without surveys